Setiap sudut Kota Macau yang kami jelajahi memiliki masing-masing cerita untuk nanti. Dan cerita kami di Macau berakhir di desa Coloane, salah satu tempat paling romantis yang tidak dipadati turis.
Sehabis menjelajah Taipa, kami memutuskan untuk menikmati matahari tenggelam di pantai Hac Sa atau Cheoc Van yang ada di Coloane. Karena lokasinya yang lumayan memakan waktu menggunakan bus, sejak pukul 4 sore kami mulai mencari pemberhentian bus menuju Coloane. Lumayan memakan waktu karena pemberhentian bus di sekitar Ruo Do Cunha tidak menunjukan rute ke Coloane. Jadilah kami jalan memutar-mutar mengikuti peta untuk mencarinya. Beginilah kalau tanpa GPS, selain modal peta, insting juga bekerja. Setelah berjalan hampir dua kilometer dari Taipa House Museum (karena memutar), bolak-balik nanya, kami pun sampai di halte bus di Olimpica Avenue. Di sini ada rute bus No. 26A menuju Coloane, sayang nya bus yang datang selalu penuh dan sangat jarang. Hampir satu jam kami menunggu, sehingga langit yang semakin jingga terpaksa kami nikmati dari halte bus.
Perjalanan bus dari Taipa menuju Coloane memakan waktu sekitar 45 menit. Di dalam bus, kami berdua berdiskusi untuk memutuskan apakah akan memaksakan ke pantai atau ke desa Coloane. Akhirnya kami putuskan untuk makan di Lord Stow bakery yang ada di desa Coloane, karena perut yang udah keroncongan semenjak sore. Kami sempat terkecoh dengan lokasi pemberhentian yang pas ke desa Coloane, lalu seorang kakak yang sepertinya baru pulang bekerja pun membantu kami. Dari sekian banyak warga lokal yang berinteraksi dengan kami selama di Macau, kakak yang saya lupa menanyakan namanya ini lumayan fasih bahasa Inggrisnya, sehingga kami pun nyambung. Ternyata kami turun di halte yang sama, ia mengajak kami berjalan bersama melewati gang-gang sempit sehingga kami bisa langsung sampai ke pinggir pantai. Kami berpisah di belakang gereja St Francis Xavier, sepertinya ia sedang buru-buru sampai kami lupa berkenalan.
Hari pun hampir gelap saat kami sampai di Desa Coloane. Tepat di depan gereja adalah bibir pantai dengan latar kota Guangdong. Di samping kiri gereja terdapat restoran yang mengiringi malam dengan lantunan lagu-lagu syahdu dari negeri barat. Menambah suasana yang makin romantis saja kala itu. Jalanan pun tidak begitu ramai, hanya ada mobil-mobil parkir yang tertata rapi. Kami pun duduk berdua menghadap pantai, bercengkerama sampai terlupa bahwa kami sedang lapar.
Sisa senja yang kami nikmati sebelum gelap menyelimuti desa. |
Setelah hari benar-benar gelap, kami berjalan menyusuri bibir pantai menuju Lord Stow Bakery yang ada di ujung jalan. Mungkin karena sudah malam, jadi antrian tidak begitu banyak. Kami memesan takeaway satu Portuguesse Egg Tart (kesukaan doi), satu cup Serradurra, sepotong choco cheese cake dan dua gelas homemade lemon tea dan es cappucino. Kebanyakan orang memesan kue di sini untuk dinikmati di pinggir pantai. Tentu saja kami juga, membawa dessert yang kami jadikan menu utama makan malam ini kembali ke tempat kami pertama saat tiba di depan gereja St Francis Xavier.
Di dalam toko Lord Stow Bakery, tepat dibelakang saya mengambil gambar adalah deretan mesin pendingindan rak-rak kue |
Klimaks drama |
Sambil makan malam istimewa -duduk di dinding pembatas jalan dan pantai, kami disuguhi gemerlap kembang api dari sebrang. Kalau di film-film drama mungkin ini klimaks dari kisah cinta di mana kedua tokoh utama akhirnya bisa bersatu setelah sekian lama saling memendam rasa. Halah. Berbagai cerita kami bagi malam itu, termasuk uneg-uneg selama hidup bareng. Dan juga kebahagiaan yang tidak cukup diungkapkan dengan kata, hanya saling pandang saja.
Satu tahun, hanya permulaan saja. Masih banyak lagi cerita yang menanti. |
Mbak itu kembang apinya memang ada setiap malam ya?apa kebetulan pas ksana lg ada festival
ReplyDeletekurang tau sih mba. pas di coloane itu hari minggu
Delete