Langit masih gelap, jalanan sepi. Jam menunjukkan pukul 4 dini hari. Saya melajukan kendaraan roda dua dengan membonceng ayah saya menuju stasiun Lenteng Agung, stasiun terdekat dari rumah saya. Demi bisa naek kereta paling pagi jam 4.50. Setelah 40 menit tertidur di commuter line, saya sampai di stasiun Kota. Dance, Ryan, dan Alan yang sudah sampai sejam sebelumnya dari Bandung menyambut saya dengan senyum lebar. Sambil menggendong ransel "Ya, hari ini kita akan berpetualang!"
Tanpa basa-basi kami langsung mencari taksi untuk menuju pelabuhan Muara Angke. Sebenarnya masih ada satu orang lagi yang kami tunggu dan membuat kami panik. Tapi daripada kami semua harus ketinggalan kapal yang pasti berangkat jam 7 pagi, mending satu orang saja yang ketinggalan. Hehehe.. Ferga, seorang teman dari Bekasi yang tiba-tiba mengirim sms ke saya di H-1, yang merasa jenuh dengan aktifitas kesehariannya, memaksa ikut.
Tujuan awal kami menuju Pulau Pari berbelok ke Pulau Harapan. Dari rencana camping satu malam pun jadi tiga hari dua malam. Juga tambahan satu personil pun dadakan. Sepertinya gaya dadakan sudah jadi style traveling kami. Di dalam kapal yang menuju Pulau Kelapa, saya dan Ferga telpon-telponan. Yasudahlah, akhirnya saya menyuruhnya naek taksi dari Bekasi. Tak ada setengah jam ternyata ia sampai juga di Muara Angke meski harus merogoh kocek seratus ribu. Kami komplit, perjalanan kami pun semakin seru karena kami berbarengan dengan rombongan koper yang dikepalai oleh Mira, si biang yang membuat saya pindah haluan ke Pulau Harapan.
Bengong ... | Pulau Kayu Angin Bintang |
Bersama genk koper waktu snorkeling bareng |
Hari pertama di pulau seribu bagian utara kami habiskan dengan snorkeling ke Pulau Genteng, melihat alam bawah laut, terumbu karang dan ikan warna-warni. Bermain pasir dan berfoto-foto ria ke Pulau Kayu Angin Bintang. Pasir putihnya menggoda mata. Kemudian snorkeling lagi ke pulau apa entah namanya saya lupa. Kalau udah nyebur jadi lupa segalanya. Hehehe.. Saat hampir senja, kami berlima ditinggalkan di Pulau Perak dan berpisah dengan rombongan koper.
Dermaga pulau Perak |
Senja hari pertama di pulau yang hanya berpenghuni satu keluarga ini membuat hari semakin sempurna. Dengan nyala api unggun kami berlima mulai merasakan kesunyian di pulau yang tanpa sumber listrik ini. Tapi kesunyian itu pecah karena pesta kecil yang kami buat untuk merayakan ulang tahun Dance. Apalagi di tengah malam, kami merasakan badai pasir karena angin kencang serta hujan sehingga kami harus berteduh sampai pagi esoknya di gubuk kecil milik pak Minang. Kalau ingat bagaimana paniknya kami malam itu, kami pasti tertawa terbahak-bahak. Norak deh!
Pagi kedua kami bangun kesiangan karena tidur di dalam gubuk begitu hangat sehingga kami malas sekali untuk bangun. Setelah sarapan seadanya, kami menyusuri Pulau Perak. Bertemu dengan banyak pari kecil yang bertotol-totol biru. Karena pari itu bahaya, maka kami menyusuri lewat bibir pantai yang berpasir...terlalu bahaya untuk sambil main air. Langit semakin biru, sehingga refleksinya membuat warna air laut juga biru.
Masih di pulau Perak |
Pantai Pulau Bira | photo by Ryan
|
Siang harinya pak Minang mengajak kami ke pulau Bira untuk menjemput satu rombongan lain yang juga akan menginap di pulau Perak malamnya. Segerombolan empat anak muda yang tidak jauh beda dengan kami, hanya saja mereka memilih untuk nge-camp di pulau bagian timur, berbeda dengan kami yang bangun tenda menghadap sunset. Makan malam kami dengan indomie rebus. Lalu bakar tedong, sejenis kerang laut yang dagingnya kenyal dan rasanya seperti kepiting. Main kartu di dermaga sampai larut malam, sambil menghitung bintang jatuh, dan menertawakan malam minggu. Berbicara tentang mimpi, tentang mimpi saya yang malam itu terikrar, saya harus punya kapal pesiar!
Kehangatan kami bersama senja dan api unggun |
Hi Sun! Good Morning.. |
Kami kembali ke Pulau Harapan di siang hari, kemudian menikmati makan siang yang nikmat di warteg sambil ditemani hujan deras. Jam menunjukkan pukul satu siang, kami dipanggil ke Kapal Dolphin untuk kembali ke Jakarta. Saya percaya suatu saat pasti saya akan kesini lagi, untuk memenuhi janji saya pada bang Ilham, pada orang-orang pulau, pada pulau-pulau yang masih milik orang pulau, dan pada pulau-pulau yang saya sayangkan ternyata sudah menjadi milik orang asing.