Belum
genap satu bulan setelah menjelajah sebelah barat daya propinsi
Lampung, saya kembali ke sana. Bukan karena penasaran, tapi hanya
sekedar memuaskan nafsu "bertualang" yang ternyata tak pernah saja puas.
Seperti biasa, kami bertolak dari terminal kampung rambutan tengah
malam[8/6]. Hujan deras sejak sore di selatan Jakarta, membuat beberapa
jalanan banjir dan tentunya macet menjadi imbas. Membuat saya telat dari
kantor pulang ke rumah untuk packing.
Tak terburu-buru, karena saya ingin tau bagaimana rasanya ditunggu
orang karena telat, hehe karena selama ini kalau kumpul saya datang
tepat waktu dan selalu jadi orang pertama. Dan ternyata setelah sampai
di terminal, semua menyambut heboh, karena saya orang terakhir yang
ditunggu. Hahahaha..
Setelah menempuh perjalanan hampir 3 jam dengan bus kami sampai di pelabuhan Merak. Biasa saja, tidak seperti ketika kali pertama tiba di Merak dengan noraknya. Kami sampai di pelabuhan Bakaheuni pagi hari setelah fajar melewati garis batas bumi.
Setelah menempuh perjalanan hampir 3 jam dengan bus kami sampai di pelabuhan Merak. Biasa saja, tidak seperti ketika kali pertama tiba di Merak dengan noraknya. Kami sampai di pelabuhan Bakaheuni pagi hari setelah fajar melewati garis batas bumi.
Si gadis petualang dari Bogor |
Kami langsung menyewa angkot untuk menuju Dermaga Canti. Tidak perlu kerepotan untuk nego harga dengan supir angkot, karena jarak tempuh menuju dermaga hanya dua jam. Tidak terlalu jauh seperti Kiluan. Barulah sampai dermaga Canti saya heboh. Yap, bertemu lagi dengan laut! *buat saya selat sunda ga dihitung laut, karena naek ferry, laut jadi terasa jauh.
Ini lho dermaga Canti |
Dengan menyewa kapal selama 2 hari, hari pertama [9/6] di sana kami tidak langsung menuju destinasi utama kami, Krakatau. Tapi wisata bahari dan nyelem. Mencari spot-spot asik untuk melihat ikan-ikan menari di dalam air. Pulau Sebuku Kecil adalah pulau pertama yang kami singgahi. Tak ada orang disana, dan memang sangat sepi. Hanya ada saya dan teman-teman dari tim uwee. Saat tiba di Sebuku Kecil, kamera pun mulai panas. Apalagi kalau bukan foto-foto, kebiasaan orang Indonesia sih. Narsis. Hahaha.. Saya pun mencoba menyusuri pantainya, yang ternyata mentok di tengah.
Pulau Sebuku Kecil memiliki pasir yang putih dan kasar karena tersusun dari bekas karang-karang putih yang banyak bertebaran. Jadi jangan coba bertelanjang kaki untuk memutari pulau ini. Karena tak banyak yang bisa di eksplor dari pulau ini, kami pun langsung menuju spot snorkeling di pulau Geligi. Ah dan saya pun udah nggak tahan buat nyebur.
Rasanya memang cupu banget nyebur pake lifevest. Saya yang tidak bisa berenang ini pun meragukan kalau nenek moyang saya itu bukan seorang pelaut. Hahahaa.. tak apalah, nanti ada waktunya kok saya bisa nyelem dengan bebas a.k.a free diving seperti abang nicholas saputra. Puas snorkeling kami pun mulai merasa kelaparan karena jarum jam sudah melewati angka 1. Kami menuju pulau Sabesi yang menjadi tempat singgah kami untuk menginap. Kami langsung disuguhi makan siang yang nikmat, sayur asem dan ikan tongkol. Setelah itu kami diajak menuju penginapan yang lebih tepatnya disebut homestay karena kami tak kebagian penginapan di pinggir pantai. Kami pun bersiap main lagi ke laut, nyebur lagi sambil nyari ikan nemo. Dan pulau Umang menjadi tempat kami menghabisi hari hingga matahari tenggelam.
Sebelum adzan subuh berkumandang kami sudah di dermaga. Langit masih gelap, sepertinya memang mendung karena tak ada tampak garis-garis fajar di sebelah timur. Perjalanan laut menuju Anak Krakatau membutuhkan kira-kira dua jam dari pulau Sabesi. Banyak di antara kami yang akhirnya ketiduran di kapal. Hanya saya, Mamet, Kibo dan Irwan yang terjaga. Makanya kami bisa dapet foto kece begini di subuh hari.
Sampai di tepi pantai Anak Krakatau saya mulai lagi terpesona dan lebay karena bertemu dengan pantai yang pasirnya hitam legam.
Untuk mendaki Anak Krakatau tidak butuh lebih dari 15 menit kalau kita berjalanan cepat. Saat tiba disana masih sangat sepi. Hanya ada rombongan kami. Kami memang sengaja datang lebih pagi, selain mengejar sunrise. Nggak seru juga kalau puncak Anak Krakatau udah jadi pasar.
Dan seperti biasa, meski kurang dari lima menit saya akan menyempatkan waktu untuk merenungi diri di sana. Bukan galau lho ya.. tapi mencoba untuk memperoleh makna dengan mengakui keberadaan saya disana. Itulah kali pertama saya berdiri di gunung yang tak berbatas dengan laut. Dulu saya sempat mentwit, tentang gunung apa yang bisa jatuh cinta dengan laut. Ada beberapa jawabannya. Dan Anak Krakatau inilah gunung dan laut yang jatuh cinta yang untuk pertama kalinya saya singgahi. Tentu saja cantik sekali bukan. Gunung yang keberadaanya tepat di tengah samudera. Mungkin kalau saya muluk dengan sedikit bumbu galau, mungkinkah seorang pecinta pantai dan laut seperti saya akan bertemu dengan seorang pecinta gunung sejati dan kami berdua akan jatuh cinta? Ah drama! Lamunan saya pun terbangun karena tiba-tiba diajak foto bareng dengan berbagai gaya di dekat kawah Anak Krakatau.
Setelah puas bercanda dengan Anak Krakatau, kami langsung menuju Laguna Cabe, pulau kecil yang berbentuk cabe yang bersebelahan dengan Gunung Rakata. Yaks, nyebur lagi sampe puas. Sampai kaki dan tangan pegal karena berenang kesana kemari. Alam bawah laut di sekitaran Krakatau tidak diragukan lagi. Teman saya, om Abe satu-satunya orang paling niat bawa alat *karena doi freediver, dapat banyak sekali gambar-gambar ketjeh. Ini dia hasil jepretan sang master free diving.
Setelah puas snorkeling, kami pun kembali ke Pulau Sabesi untuk makan siang dan persiapan packing untuk kembali ke Jakarta. Lagi-lagi kepikiran buat tinggal di pulau itu muncul lagi, ya rasanya saya nggak mau pulang. Saya belum sampai puncak Anak Krakatau. Makanya saya harus kembali kesini, kemping di Gn. Rakata, dan mendaki lagi Anak Krakatau!
P.S.
#np ttatw - malino |
Malam pun kami habiskan dengan berbincang-bincang di aula makan tentang celana saya yang hampir hilang dan tau-tau ketemu sudah dijemur entah oleh siapa. Lalu kami menepi di pinggir pantai sambil menyalakan api unggun. Bakar-bakaran ikan seadanya dan menikmati malam. Saya pun sempat tertidur di pinggir pantai karena kecapekan. Gimana ngga, pulang dari kerja saya benar-benar belum istirahat sudah berenang seharian. Akhirnya malam itu kami semua tepar, merebahkan diri langsung ke kasur tanpa aba-aba. Bukan hanya karena lelah, tetapi juga karena jam 4 pagi kami semua harus standby untuk nyebrang ke Anak Krakatau.
Vika dan mbak Sari pun kebangun karena kehebohan kami... wait... pinky? kalo ga ngejreng bukan Uwee namanya hahaha |
Kece kan? *seneng banget akhrinya celana gue ketemu! |
Untuk mendaki Anak Krakatau tidak butuh lebih dari 15 menit kalau kita berjalanan cepat. Saat tiba disana masih sangat sepi. Hanya ada rombongan kami. Kami memang sengaja datang lebih pagi, selain mengejar sunrise. Nggak seru juga kalau puncak Anak Krakatau udah jadi pasar.
Dan seperti biasa, meski kurang dari lima menit saya akan menyempatkan waktu untuk merenungi diri di sana. Bukan galau lho ya.. tapi mencoba untuk memperoleh makna dengan mengakui keberadaan saya disana. Itulah kali pertama saya berdiri di gunung yang tak berbatas dengan laut. Dulu saya sempat mentwit, tentang gunung apa yang bisa jatuh cinta dengan laut. Ada beberapa jawabannya. Dan Anak Krakatau inilah gunung dan laut yang jatuh cinta yang untuk pertama kalinya saya singgahi. Tentu saja cantik sekali bukan. Gunung yang keberadaanya tepat di tengah samudera. Mungkin kalau saya muluk dengan sedikit bumbu galau, mungkinkah seorang pecinta pantai dan laut seperti saya akan bertemu dengan seorang pecinta gunung sejati dan kami berdua akan jatuh cinta? Ah drama! Lamunan saya pun terbangun karena tiba-tiba diajak foto bareng dengan berbagai gaya di dekat kawah Anak Krakatau.
Setelah puas bercanda dengan Anak Krakatau, kami langsung menuju Laguna Cabe, pulau kecil yang berbentuk cabe yang bersebelahan dengan Gunung Rakata. Yaks, nyebur lagi sampe puas. Sampai kaki dan tangan pegal karena berenang kesana kemari. Alam bawah laut di sekitaran Krakatau tidak diragukan lagi. Teman saya, om Abe satu-satunya orang paling niat bawa alat *karena doi freediver, dapat banyak sekali gambar-gambar ketjeh. Ini dia hasil jepretan sang master free diving.
Setelah puas snorkeling, kami pun kembali ke Pulau Sabesi untuk makan siang dan persiapan packing untuk kembali ke Jakarta. Lagi-lagi kepikiran buat tinggal di pulau itu muncul lagi, ya rasanya saya nggak mau pulang. Saya belum sampai puncak Anak Krakatau. Makanya saya harus kembali kesini, kemping di Gn. Rakata, dan mendaki lagi Anak Krakatau!
Ayo ditunggu kapan kita kesana lagi?! |
Lagi suka banget dengerin payung teduh yang judulnya cerita tentang gunung dan laut, makanya keluar ide untuk bikin tulisan dengan judul yang sama. hehe..
Abis turun kelaut dan naik krakatau diem dulu ya biar puasanya beres.... ntar abis puasa tuh puas-puasin lagi backpackingnya....
ReplyDeletewah ga bisa om. masa puasa libur traveling.. cupuu! hehehe
Deletepadahal di pulau sebesi bisa nginep tanpa biaya lho, di tempatnya pa suheli.. sering menampung pejalan pejalan ga punya dana beliau. baik banget pula orangnya
ReplyDeletemungkinkah seorang pecinta pantai dan laut seperti saya akan bertemu dengan seorang pecinta gunung sejati dan kami berdua akan jatuh cinta?
ReplyDelete- ini kyaa banget loh! hahaha
salam kenal, saya suka posting ini :)
hahahaaa biasa traveler galau yg sedang mencari partner :p
Deletesalam kenal juga kinchan! makasih ya sudah jalan2 di blog saya :)
mbk,,apa yg anda lamunkan, sama seperti yg saya lamunkan,hoho
ReplyDelete