|
Lumbung padi yang terletak persis di depan rumah adat Toraja |
Sudah sebulan berlalu, sejak menginjakan kaki di South Celebes. Perjalanan selama tiga hari tanpa rencana, bermodalkan tiket promo milik seorang teman yang mendadak batal berangkat. Hari pertama di kota Makassar, saya habiskan dengan berwisata ala keluarga ke Taman Nasional Bantimurung dan berleyeh-leyeh di pantai pasir putih yang cantik di pulau Samalona. Malamnya, setelah mandi seadanya di masjid apung dekat pantai Losari, kami bergegas menuju pool bus Litha dengan taksi. Saat orang-orang menikmati malam minggunya seperti kebanyakan anak muda, saya menikmati malam dengan tidur pulas di bus yang layaknya sleeping bus, dengan harga seratus ribu rupiah kami memperoleh pelayanan kelas eksekutif. Perjalanan ini selama hampir 9 jam menuju Rantepao, pusatnya para turis di Tana Toraja.
Kami sampai di Rantepao pagi hari, disambut dengan udara dingin yang membuat saya harus mengeluarkan jaket dari tas. Tana Toraja terletak di dataran tinggi, sehingga hawanya sangat berbeda sekali dengan kota Makassar yang panas karena terletak di dataran rendah yang langsung berbatasan dengan laut. Pool bus Litha terletak di pasar Rantepao, cukup strategis untuk kemana-mana. Kami pun tidak kesulitan untuk mencari tempat makan muslim dan sewa motor. Setelah sarapan, kami menitipkan barang bawaan kami ke tempat sewa motor, karena kami tidak berencana untuk menginap di Tana Toraja. Lalu dengan bermodalkan fotokopi-an peta lokasi wisata Tana Toraja, kami berangkat dengan hati gembira. Karena pagi itu matahari cerah sekali!
|
Dengan modal peta hitam putih ini, kami keliling Tana Toraja dari utara sampai selatan! |
Posisi pasar Rantepao ada di tengah, karena itu mungkin lebih tepatnya kami bukan keliling Toraja dari utara ke selatan. Tetapi dari tengah ke selatan lalu kembali ke pasar untuk makan siang dan melanjutkan ke utara dan balik lagi ke pasar, hehe. Capek memang harus bolak-balik menggunakan kendaraan roda dua, apalagi hari sebelumnya kami sudah lumayan lelah setelah mengeksplor Makassar. Sempat beberapa kali Mamat hampir bersenggolan dengan pengguna motor lain, dan sekali carrier saya jatuh di tengah jalan. Rasa lelah tak mematahkan semangat kami untuk berwisata "makam". Ya, karena Toraja ternama dengan adat istiadat nya dalam prosesi pemakaman. Maka hari itu kami mengekplor budaya Toraja dengan mengunjungi beberapa makam yang sudah menjadi sejarah dan yang masih di gunakan sampai saat ini.
|
Lemo, kuburan batu pahat milik kepala suku Toraja masa lalu |
Tujuan kami pertama adalah Lemo. Di sekeliling tebing banyak sekali makam, dan beberapa di antaranya terdapat tulang belulang yang mencuat keluar sehingga terlihat dari bawah. Selain itu kami pun mendapati pemandangan ngarai sawah yang hijau setelah mengitari situs pemakaman ini.
|
Pemandangan di balik Lemo |
Selain Lemo, di daerah selatan Tana Toraja kami mengunjungi situs pemakaman lain seperti Tampang Allo dan Lado. Jarak antar situs tidak terlalu jauh. Sebenarnya diantara itu masih terdapat banyak lagi situs makam lain. Kami pun mengunjungi Baby Grave di Kambira, yang merupakan pemakaman bayi di pohon. Seorang bayi yang belum tumbuh giginya dimakamkan di pohon, karena di percaya arwahnya masih suci. Berbeda dengan orang dewasa yang dimakamkan di tebing batu.
|
Baby grave di Kambira
Makam ini sudah tidak digunakan lagi sejak agama sudah masuk ke sini. |
|
Beberapa tengkorak yang tersusun di dalam Tampang Allo |
|
Suasana di dalam Lado, turis asing banyak sekali yang datang ke sini! |
|
Salah pemandangan gua di dalam Lado |
Setelah mengeksplor wilayah utara Tana Toraja, kami kembali ke pasar Rantepao. Kami sempat melewati patung Sultan Hasanuddin yang berada di simpang lima kota Makale, ibukota administratif Tana Toraja. Di pasar, kami makan di sebuah tempat makan yang siang itu ramai pengunjung. Kami pun langsung memesan makanan tanpa bertanya terlebih dahulu harganya hingga saat tiba meminta bon, kami terkaget. Ya, harga makanan yang sudah jadi di Tana Toraja itu berbeda sekali dengan Makassar. Untuk ukuran mahasiswa yang biasanya satu porsi di sini bisa dihabiskan untuk makan selama 3 hari. Sehabis makan, kami melanjutkan eksplorasi ke wilayah utara. Karena waktu yang mepet menjelang sore, kami hanya mampir ke desa tenun di Galulu Dua dan desa adat Kete Kesu.
|
Salah satu pengrajin tenun di Galulu dua |
|
Kete Kesu |
|
Salah satu rumah adat di Kete Kesu yang sedang di renovasi |
Kami tak bisa mendapati prosesi pemakaman dan pesta adat yang biasanya dilakukan orang suku Toraja. Padahal kalau kami sampai di sini hari sebelumnya, kami bisa ikut menyaksikan prosesi adat yang sudah terkenal se-antero dunia ini karena hanya satu-satunya.
|
Mamak neneng, di desa galugu dua.
Bercerita tentang anaknya yang akan menikah dengan suku jawa |
Tapi itu tak membuat saya kecewa, mengenal lebih dekat dengan warga asli suku Toraja sudah cukup membuat saya bahagia. Melihat perbedaan yang mencolok antara mereka dengan saya, melihat sisi lain di tempat yang jauh dari saya dibesarkan, dan belajar bahwa perbedaan bukan penghalang untuk saling mencintai. Itulah yang saya dapatkan di Tana Toraja.
Cantik sekali view kampung Toraja ya...
BalasHapussaat ini pamor Toraja udah mulai turun om, kurang dapat dukungan dari pemerintah. kebanyakan masih dikelola masyarakat. bahkan ada beberapa situs makam yang tak terawat..
Hapusmantep banget torajanya
BalasHapus*mupeng
yeay udah ditawarin ya waktu itu tiketnya hehe
HapusKeren Mba Niken.
BalasHapus