Saya menggunakan atasan baju lapis dua, sweater dan jaket polar. Untuk bawahan celana semi jeans dengan sebelumnya saya lapisi celana triatlhon yang menempel di kulit. Tak lupa kaos kaki dan sarung tangan polar. Semua itu tetap saja tak mampu menahan dinginnya bandara Keflavik di tengah malam. Yap, kami menginap di bandara setelah kembali dari 14-hours tur ke South Coast dan Jokulsarlon.
Tepat pukul nol dini hari, kami mencoba memejamkan mata demi menjaga kondisi tubuh dari efek kurang tidur karena sejak malam kemarin kami belum mendapat istirahat yang cukup setelah mengejar aurora. Bukan cuma kami yang terlantar di bandara malam ini. Saat kami tiba di bandara, sudah banyak berjejerean para pengelana bumi bersandar di dekat heater di setiap sisi bandara.
Bre bisa tidur, saya belum bisa. Dingin yang menusuk membuat mata ku terjaga. Saat seperti ini, saya jadi kangen sekali dengan bantal guling dan selimut di rumah. Ah… sudah tujuh minggu kami berada di luar rumah. Tidur di hostel atau pakai airBnB, kami selalu nyenyak di atas beraneka jenis kasur, selama pakai selimut dan heaternya nyala. Kini kami menghabiskan malam terakhir sebelum terbang ke Indonesia berteman dengan dinginnya Iceland.
Senang akhirnya saya akan kembali ke rumah, bertemu dengan bantal dan selimut kesayangan. Juga berbagai jenis makanan yang sudah saya buat daftar untuk mengobati kangennya sama masakan Indonesia.
Sedih karena ini adalah akhir dari perjalanan menggapai mimpiku sejak delapan tahun silam. Mimpi yang sudah digapai kini menjadi memorial. Kesedihan karena setelah ini berakhir aku akan menjadi hampa tanpa mimpi. Selama perjalanan ini, aku pun berpikir keras aku harus punya mimpi lagi. Mimpi yang membuat manusia benar-benar menjadi hidup. Mimpi yang sudah digapai lantas bukan menjadi akhir, tapi menjadi pembuka untuk mimpi baru.
September 26, 2016
Keflavik Airport, Iceland
Tidak ada komentar
Posting Komentar