Satu tahun yang lalu Mei 2015, saya terdampar di tulisan nya mbak Patricia — deBagpacker saat blogwalking. Sejak itu, saya pasang foto tempat ini jadi wallpaper di ponsel saya. Saat itu saya bertekad, kalau saya ke Jerman saya pasti akan ke tempat ini. Dan jadilah hari itu (17/08/2016) kami benar-benar terdampar di kota kecil, yang kata orang jerman asli, seorang kenalan di jalan, you've come to the cutest town in Germany.
Bagaimana petualangan kami bisa sampai ke kota ini? Tidak mudah. Karena tidak banyak informasi yang kami peroleh, hanya berbekal tulisan dari mbak Patricia yang membawa kami sampai ke sini. Dari kota Brussels di Belgia kami langsung menuju Cochem. Kalau dilihat di peta, jaraknya sekitar 300 kilometer, atau sama dengan dari Jakarta ke Tegal. Kelihatan dekat ya kalau naik bus langsung. Namun, dari Brussels tidak ada bus langsung ke Cochem. Kami harus naik bus dulu ke Dusseldorf. Dari Dusseldorf kami lanjut naik bus lagi ke Koblenz. Baru dari Koblenz, kami naik kereta DB Bahn ke Cochem. Kenapa ngga naik kereta langsung aja dari Brussels sih? Mahal bro. Tapi jadi lebih asik kan hop on hop off gini. Jadi berasa keliling Eropa-nyah!
Mosel Valley
Kami tiba di Cochem sudah gelap, kira-kira pukul sepuluh malam. Saat sampai di stasiun Cochem(Mosel), tidak ada orang yang turun di stasiun ini selain kami. Pun di stasiun tidak ada orang sama sekali. Ini dimana-aaa? Saya setengah berteriak ke Bre, sembari memasang tas ransel ke posisi yang enak di punggung. Kami keluar stasiun dan berjalan di trotoar yang lampu jalannya tidak memadai. Kami berjalan ditengah kegelapan jalan yang rasa-rasanya seperti di film zombie. Tidak ada suara, tidak ada orang, dan gelap. Kami pun tergopoh-gopoh mencapai lokasi penginapan yang letaknya agak jauh dari pusat kota. Jalannya menaik, sepi dan gelap. Sempat kami melihat ada satu-dua bar yang buka, tapi tidak ramai. "Oh, ada kehidupan juga di sini."
Setelah semalam merebahkan badan, melepas lelah dari perjalanan panjang sampai ke kota kecil ini. Kami keluar penginapan, menghirup dinginnya udara pagi seperti di pegunungan. Daerah lembah seperti ini memang lebih basah, dengan bukit-bukit yang mengelilingi sungainya. Rasanya damai banget, karena sudah hampir dua minggu kami melakukan perjalanan di hingar bingar kota, kami baru bisa menyapa alam di sini. Sejuk dan damainya, sepertinya umur saya panjang kalau tinggal di sini.
Pagi yang selo, sepeda-an dipinggir sungai Rhein |
Skagerak-Brücke
Kami melewati Skagerak-Brücke (atau jembatan Skagerrak) yang memiliki dua view point untuk melihat Reichsburg dari kejauhan. Pagi ini masih lumayan cerah, kami bisa melihat birunya warna langit dengan corak awan putih. Selain di jembatan ini, tempat yang paling romantis (dan gratis) untuk menikmati sungai Rhein adalah di bangku taman seberang jembatan yang menghadap ke Reichsburg, tepatnya dibawah jalan Uferstraße.
Setelahnya, selama kami menginap tiga malam di Cochem, matahari tak pernah menampakkan warnanya lagi. Langit yang selalu mendung, kadang disertai dengan hujan rintik-rintik, seperti menyembunyikan keelokan sungai yang mengalir melewati tiga negara ini, Perancis, Luxembourg dan Jerman. Namun itu tak membuat kami sendu, malah membuat kami semakin menikmati tentramnya kota ini. Meski kota ini termasuk kota yang "touristy", sebagian besar turis adalah mereka yang berada di usia senja.
Rhein river dan Reichsburg dilihat dari Skagerak-Brücke |
Skagerak-Brücke dan Reichsburg |
Altstadt
Sekembali dari sebrang jembatan dengan pemandangan Reichsburg, kami singgah ke Tourist Information yang baru buka jam 9 pagi. Nyaman banget di sini, ada meja dan kursi yang bisa kita gunakan untuk bersantai, satu komputer yang bebas dipakai, free wifi, refill air mineral, berbagai majalah yang bebas dibaca dan brosur untuk diambil. Ada juga postcard yang boleh kita bawa sebagai souvenir. Kalau toilet umum, ngga ada yang gratis ya di Jerman, sama seperti di Belanda.
Di sini kita akan banyak berjumpa dengan para sesepuh traveler yang gayanya kece, seperti nenek dan kakek yang menggunakan setelan semi naik gunung. Tapi kita berdua paling muda di sini ngga merasa kecil hati kok, karena besok kita juga akan trekking ke Burg Eltz. Sekarang kami cari-cari info dulu sambil menikmati kota tua (Altstadt) Cochem.
Rathaus Plaza |
Menjejaki medieval town yang berdiri di antara sungai dan bukit. Tersesat di labirin-labirin sempit di antara bangunan dengan arsitektur bersejarah. Mencium aroma manis toko kue yang baru buka di pagi hari. Selain lanskap yang indah dan arsitektur yang menawan, kota Cochem sendiri dikelilingi perbukitan kebun anggur yang membuatnya juga terkenal akan anggur lokalnya.
Reichsburg
Benteng Reichs menjadi top-spot yang wajib dikunjungi. Kita bisa melihat stunning-view benteng ini di malam hari dari pinggir sungai Rhein. Untuk bisa mengeksplor bagian dalam benteng, kita dapat mencapai benteng ini dengan berjalan kaki sekitar 10-15 menit atau menggunakan shuttle bus dari depan Tourist Information. Kami berdua memilih berjalan kaki. Kami naik melewati jalan biasa, yang jalannya lebih datar, melewati perumahan warga lokal, sekolah, dan beberapa kebun anggur. Sedangkan saat turun kami melewati jalur langsung yang jalannya lebih menanjak.
Reichsburg saat blue hour dari pinggir sungai Rhein |
Pemandangan dari Reichsburg |
Di Reichsburg, ada pelataran teras untuk kita bisa menikmati kota Cochem dari atas. Untuk masuk ke dalam kastil, kita tidak bisa sembarangan masuk dan harus didampingi guide, yang merogoh kocek €10. Kami urung karena kami ngga begitu suka sejarah, dan lebih memilih untuk menikmati lembah Mosel yang sore itu diselimuti awan mendung.
My long-time assistant and model in photography |
Sesselbahn
Sesselbahn atau kereta gantung yang ada di Cochem menjadi salah satu objek wisata bagi para turis yang ingin ke puncak "Pinner" atau ke Kebun Binatang dan enggan melakukan trekking yang melelahkan. Kami mencoba menaiki kereta gantung juga tidak dalam rencana. Yang kepingin banget sih Bre, saya awalnya males karena masih takut ketinggian. Surely, paralayang ngga membuat takut saya akan ketinggian hilang.
Look! That's Reichsburg. |
Perumahan warga lokal di Lembah Mosel |
Saya tetap teguh tidak mau naik ini. Lalu Bre pun galau karena ngga mau naik sendirian. Akhirnya saya pun terpaksa naik juga. Kami naik kereta gantung ini saat akan meninggalkan kota Cochem, sekaligus mengisi waktu setelah check out. Kami menitip rucksack yang kami bawa di loket. Rasa takutku masih ada, namun pemandangan pegunungan dan lembah serta bangunan rumah-rumah yang apik membuatku melupakan sebentar rasa takut itu. Momen ini, justru akan selalu membuat saya teringat akan kota kecil di lembah Mosel yang begitu cantik.
Dari semua highlight yang saya tulis tentang kota kecil ini, tidak semua saya babat dalam waktu satu hari. Kami tinggal selama empat hari di Cochem, di tambah half-day-trip ke Burg Eltz membuat kami lebih leluasa mengisi waktu di kota kecil ini. Terkadang kami bangun lebih siang, agar dapat menikmati sarapan mewah ala orang Jerman yang sudah include dalam penginapan dan kembali ke penginapan sebelum tengah malam untuk menikmati drama yang disiarkan di channel lokal seperti film Palo Alto yang ternyata membuat saya tahan untuk nonton sampai selesai. Juga kami bisa duduk berjam-jam di pinggir sungai, menunggu blue hour sampai gelap, mengisinya dengan obrolan apa saja tanpa bosan.
Kami menikmati setiap waktu dalam perjalanan. Seperti sungai Rhein yang mengalir pelan. Karena waktu seperti sungai yang mengalir, no water passes beneath your feet twice, much like the river, moments never pass you by again, so cherish every moment that life gives you — Anonym.
Dari semua highlight yang saya tulis tentang kota kecil ini, tidak semua saya babat dalam waktu satu hari. Kami tinggal selama empat hari di Cochem, di tambah half-day-trip ke Burg Eltz membuat kami lebih leluasa mengisi waktu di kota kecil ini. Terkadang kami bangun lebih siang, agar dapat menikmati sarapan mewah ala orang Jerman yang sudah include dalam penginapan dan kembali ke penginapan sebelum tengah malam untuk menikmati drama yang disiarkan di channel lokal seperti film Palo Alto yang ternyata membuat saya tahan untuk nonton sampai selesai. Juga kami bisa duduk berjam-jam di pinggir sungai, menunggu blue hour sampai gelap, mengisinya dengan obrolan apa saja tanpa bosan.
Kami menikmati setiap waktu dalam perjalanan. Seperti sungai Rhein yang mengalir pelan. Karena waktu seperti sungai yang mengalir, no water passes beneath your feet twice, much like the river, moments never pass you by again, so cherish every moment that life gives you — Anonym.
Duh ah Niken, nambah2in list tempat yang harus dikunjungi aja nih.
BalasHapusBagus bangeeeeet keeen. Aku suka banget kota kecil dikelilingi alam gituuuu.
rumah2 gaya tudor gini ditambah ada sungai dan bukit2 yg mengelilingi,,cantik bgt kotanya *_*
BalasHapusAnother beautiful romance story for our children
BalasHapus