|
Tofukuji Bus stop. Cuaca cukup cerah tapi tetep dingin. |
|
Bus No. 5, jalur bus ke Fushimi Inari |
Mendaki Gunung Inari (Inariyama)
Kaki saya sudah mulai lecet dan luka di bagian belakang mata kaki karena terlalu banyak jalan dan juga karena cuaca yang ekstrim sehingga kulit saya mudah kering dan terbuka. Kalau kata Nisa, itu terjadi karena saya malas pakai minyak zaitun dan lotion. Setiap habis mandi —di mana cuma sehari sekali setiap mau tidur, saya langsung pules tidur, udah males mau ngapa-ngapain. Beda dengan Nisa yang rajin banget tiap mau tidur melakukan ritual dulu oles sana-sini. Hehe, next trip gue bakal ikutin gaya lo, Sa. Sumpah, kaki lecet lagi jalan-jalan begini itu ngga enaagh!
Sebab itulah saat kami baru sampai di halte bus Inaritaishamae (halte bus terdekat dari Fushimi Inari), saya langsung ke konbini nyari hansaplast, karena persediaan yang saya bawa dari Indonesia sudah habis. Demi menjaga si kaki agar tetap mau jalan dan nggak manja.
|
Fumikiri, penyebrangan rel kereta |
Jalan terdekat menuju ke Fushimi Inari ini ada 2, jika naik bus kita berhenti di Inaritaishamae bus stop dan jika kita naik JR kita berhenti di stasiun Inari. Jarak dari halte bus memang lebih jauh dari stasiun JR, tapi lewat sini terasa lebih lokal. Kami melewati fumikiri, penyebrangan rel kereta yang banyak ada di Jepang, dan melewati kanal kecil yang kerasa Jepang banget. Saat kami melewati Fumikiri, di kepalaku entah kenapa keputer ending soundtrack nya 5 centimeters per second. Bagi yang pernah nonton film karya Makoto Shinkai ini pasti ngerti. The railroad scene really breaks my heart.
Apa yang membuat Kyoto lebih padat turis dibanding Tokyo? Jawabannya bisa kita lihat dari dua foto di atas. Pelancong yang ada di Kyoto ternyata juga di dominasi oleh pelajar-pelajar SMP dan SMA di Jepang. Kalau sudah agak siang, padatnya kota Kyoto bisa bikin kepala pusing, nggak kebayang kalau pas musim panas.
|
Ritual Misogi, menyucikan diri dengan membasuh tangan dan berkumur dengan air. |
|
O-mikuji |
Kami tiba masih pagi, sekitar jam 9. Suasana ramai di depan kuil masih didominasi oleh mereka para pelajar. Ada yang melakukan ritual Misogi, yaitu menyucikan diri dengan mencuci tangan dan berkumur di Temizuya (sumber air yang biasanya berada di dekat kuil) lalu berdoa. Ada juga yang mengikat O-mikuji, selembar kertas yang berisikan ramalan yang biasanya diambil secara random setelah berdoa dan memasukkan uang receh. Jika ramalannya baik, kertas Omikuji ini mereka simpan, jika ramalanya buruk mereka mengikatnya seperti foto diatas.
|
Penyewaan kimono di Fushimi Inari
Tadi nya Nisa udah niat banget pake kimono selama di Kyoto. Yakin naik gunung mau pake ini? |
Persiapkan diri terutama mental sebelum memasuki Fushimi Inari, karena kita akan menaiki ribuan anak tangga. Jangan tertipu dengan foto-foto yang beredar di dunia maya. Sesungguhnya foto yang beredar itu hanyalah foto bagian gerbang (Torii) nya saja. Kuil utamanya sendiri berada di puncak Inariyama. Dan untuk mencapai kesana, butuh banyak waktu karena selainnya jalannya semakin menanjak, di sepanjang Torii kita pengennya foto-foto melulu :D
|
The famous scene in Memoirs of Geisha |
Sebetulnya kalau kami punya banyak waktu, mendaki Inariyama ini bukanlah hal yang sulit. Apalagi kita berangkat pagi-pagi dan cuaca juga enak karena masih musim gugur. Ngga bakal berkeringat deh. Melihat pohon di kanan-kiri yang hijau juga membuat hati terasa lebih tentrem. Pernah denger cerita dari salah seorang teman kalau di sini malam hari juga dibuka. Serem ngga sih?
|
Hello, there... |
Kami berdua hanya mampu berjalan sampai ke
spot ke 7, atau sudah tiga seperempat perjalanan (yang saya baru tahu setelah ngecek peta di Google). Nisa masih kuat untuk meneruskan, tapi kaki ku sudah semakin lecet dan perut keroncongan. Sudah hampir dua jam kami mendaki.
Kita belum foto-foto lho, Sa. Belum lagi turunnya. Mau sampai jam berapa kita dibawah? Nisa pun nyengir. Yang penting foto, bukan puncaknya kan.
|
Katanya lebih genic bagian sisi yang ada tulisan kanji nya. |
Untuk bisa dapat foto dengan latar belakang Torii yang sepi kita harus mau naik lagi dan naik lagi, karena semakin ke atas semakin sedikit pengunjung.
|
Eh masih ada tangga lagi |
Torii yang dalam bahasa Jepang dalam tulisan kanji 鳥居 berarti sarang burung, adalah gerbang yang umumnya ditemukan di setiap bagian pintu masuk sebuah kuil. Torii yang berdiri kokoh di sepanjang jalan menuju kuil ini adalah sumbangan dari orang atau suatu badan sebagai tanda rasa syukur dan harapan untuk keburuntungan di masa depan.
Tulisan kanji yang ada di belakang Torii ini yang membuat nya memiliki sisi seni yang menawan. Saya sendiri ngga bisa baca nya (cuma bisa baca hiragana itu pun lupa-lupa ingat). Tulisan kanji yang ditulis dengan tinta hitam ini menandakan seni kaligrafi Jepang masa lampau yang artistik.
Torii ini lah yang membedakan antara kuil (shrine) dan vihara (temple). Fushimi Inari sendiri adalah kuil Shinto yang terletak di Inariyama. Inari dipercaya sebagai dewa kemakmuran dalam ajaran Shinto yang membawa berkah bagi hasil panen. Di semua kuil yang ada di Fushimi Inari ini akan banyak ditemukan rubah (fox) yang merupakan simbol Inari.
|
Try find Son Goku from Dragon Ball! |
|
"Zawa zawa" Kaiji when expressed his uneasiness |
Yang membuat Fushimi Inari unik berbeda dengan kuil Shinto lainnya adalah O-mikuji nya yang berbentuk rubah dan terbuat dari kayu, karena biasanya O-mikuji terbuat dari lembaran kertas. Di sini saya perhatikan si rubahnya digambar lucu-lucu seperti yang ada di karakter manga dan anime. Kreatif!
|
Temizuya |
|
Semakin ke atas, view kota Kyoto akan semakin terlihat jelas.
Anyway these two kids make me jealous. This cold breeze makes me wanna hug his pot belly! |
|
Onii-chan... |
Di beberapa persimpangan Torii terdapat kuil-kuil kecil yang dijadikan tempat persinggahan. Di beberapa spot juga ada kafe kecil dimana kita bisa menumpang beristirahat dan mengisi perut. Semakin ke atas kita akan disuguhi lanskap kota Kyoto. Di sinilah saya memutuskan untuk berhenti naik lagi, dan Nisa melanjutkan perjalanannya.
Kami janjian, saya menunggunya di sini. Sambil menunggu Nisa yang udah naik dan ngga keliatan lagi penampakannnya, saya mencoba mengeksplor sekitar. Saya menyadari di atas sini Momijinya sudah banyak yang memerah, tidak seperti di bawah tadi banyak yang masih hijau.
|
The historical gates sync beautifully with the Ginko leaves. |
Sepertinya ngga sampe dua puluh menit, Nisa udah balik lagi. "Udah sampe puncak belum?" Tanya saya. Ia jawab, "Belum, Ken. Kayaknya gue nyasar deh." Tawa kita pecah. Perut kita keroncongan.
|
Dango |
|
Taiyaki |
|
Yakitori (crab stick) |
|
Takoyaki ! |
Kami puas foto-foto sambil menuruni anak tangga. Tujuan kita setelah ini adalah memuaskan isi perut dengan jajan di sepanjang jalan yang ada di gerbang samping Fushimi Inari. Jadi kalau misalnya kamu naik kereta yang menggunakan JR (Nara Line), coba pas mau pulang kamu lewat arah sebelah kanan, mampir saja sebentar buat jajan-jajan lucuk. Kami cuma berani nyobain Takoyaki sama Taiyaki karena udah yakin sama kehalalannya. Selain jajan, sejujurnya saya kepingin beli topeng nya Gin, karakter dalam film Hotarubi no Mori e (karenanya judul tulisan saya ngutip dari film ini, hehe), tapi harganya tak masuk akal dan ngga rela karena masih banyak yang belum kebeli. Jadi ku bawa pulang fluffy coin pouch rubah yang lucu ini sebagai kenangan bahwa aku pernah berada di sana.
|
A fleeting moment together remains forever in memories and in the heart. |
No comments
Post a Comment