Sudah dua minggu kami WFH (Work From Home —kerja dari rumah) di Malang, dan rasanya mulai jenuh lagi. Salah satu cara buat bikin suasana baru ya kerja di kafe atau di working space. Sebelum memutuskan mau nongkrong di mana, kami nanya-nanya dulu ke Ayy, adik sepupu ku yang sering melakukan pemotretan di kafe dan sudah menjamah hampir ke semua kafe di Malang. Dua kafe rekomendasi dari dia untuk main (kerja) adalah Nara Coffee dan Ten Thirty.
Pertimbangan pertama kami dalam memilih kafe tentu saja protokol kesehatan yang diterapkan oleh pemilik kafe. Dalam kondisi seperti ini, meskipun Vaksin Sinochem sudah disiapkan untuk masuk ke negara kita, tentu kita tetap harus waspada. Apalagi durasi kerja atau nongkrong di kafe tidak sebentar, resiko untuk berpapasan dengan orang lain lebih besar.
Pertimbangan yang kedua adalah waktu jam buka kafe dan pilihan ruangan non-smoking. Di Jakarta, kebanyakan kafe buka jam 7 pagi. Sayangnya di Malang rata-rata kafe buka jam 10 pagi. Ada beberapa yang buka pukul 8 tapi hanya akhir pekan. Untuk menghindari kerumunan tentu kami memilih di hari kerja dan reservasi paling pagi. Kafe di Malang rata-rata juga outdoor dan semi outdoor, sangat jarang yang memiliki area non-smoking (AC). Memang saat pandemi gini lebih baik ruangan terbuka, tapi di Malang sangat jarang ada yang memisahkan area terbuka untuk merokok dan area terbuka untuk tidak merokok.
Nara Coffee
—
Waktu saya mengirimkan pesan melalui WhatsApp ke Ayy menanyakan tentang kafe di Malang, pas sekali Ayy sedang pemotretan di Nara Coffee. Dikirimilah saya video live saat itu juga. Cukup asik tempatnya, area outdoor dikelilingi alang-alang ekor kuda yang biasanya tumbuh di pinggir jalan tol atau lahan luas yang kosong. Rasanya sendu-sendu gitu ditiup angin. Saya langsung cek Instagram Nara Coffee dan reservasi untuk hari Jum'at nya. Reservasi dahulu lebih baik jadi kita bisa pesan untuk duduk di area non-smoking karena ruangannya tidak terlalu besar.
Kami tiba pas pukul 10 pagi. Sebelum masuk ke Perumahan NOOR Residence, satpam yang ada di depan perumahan memastikan reservasi kita dengan mengontak waiter kafe pakai HT. Mungkin karena lokasi nya di dalam perumahan jadi jumlah pengunjung dibatasi. Cukup oke sih ini, kita pun pengunjung pertama. Enak sepi banget, mulai ada pengunjung lain sekitar hampir jam 11 siang.
Saya memesan paket Cappucino dan Cheese Croissant yang dibanderol hanya 30 ribu rupiah saja, dan Ice Cappucino seharga 20 ribu rupiah. Kopi nya enak, Croissant nya juga gede banget bikin kenyang. Sayang nya di sini tidak ada menu makan besar, jadi untuk nahan lapar kami bolak-balik pesen kue.
Saya perhatikan pengunjung yang datang seumur anak kuliahan rata-rata hanya numpang foto di kafe ini. Memang view nya instgrammable banget. Mereka berswafoto di semua sudut, meja ditinggal kopi dilalerin, yang pada akhirnya semua disisakan setengahnya. Sungguh mubazir. Tidak hanya 1-2 kelompok, rata-rata yang berkunjung ke kafe ini semua begitu. Positifnya buat kita sih mereka nggak banyak haha-hihi, jadi nggak berisik dan nggak lama-lama di kafe. Hehe.
Barista dan waiter nya ramah, mereka semua pakai masker jadi aman. Beberapa kali waiter membersihkan meja dengan disinfektan. Kafe nya sangat bersih, saya sendiri bisa pup padahal nggak lagi kebelet banget. Hahaha. Sayang di sini banyak laler, karena memang lagi musim hujan sih. Tapi masih bisa dikondisikan dengan ada nya lilin-lilin kecil yang dinyalakan sama waiter.
Kursi di area indoor cukup empuk tapi sayang tidak pas dengan tinggi meja sehingga membuat kenyamanan berkurang buat kita yang bekerja pakai laptop. Lokasi nya juga lumayan jauh jika dibandingkan dengan kafe-kafe lain yang rata-rata tersebar di daerah Soekarno Hatta. Namun secara keseluruhan, kafe ini cocok untuk santai dan kerja dengan jaringan wifi nya yang cepat. Kopi dan bakery nya enak. Tempatnya sedap dipandang mata dengan warna biru toska nya yang menarik. Musik yang distel sama barista nya juga enak, slow dan nggak berisik. Dalam kondisi pandemi ini, protokolnya juga baik jadi aman.
Ten Thirty Coffee and Eatery
—
Kenapa saya langsung memajang foto rak berisi kaset dan radio stereo jadul ini? Tentu saja karena Ten Thirty mengusung tema klasik jadul ala tahun 70-90an. Setelah dari Nara Coffee, kami pindah ke kafe ini. Alasannya karena Nara tidak menyediakan menu makan siang. Saat itu jam 2 siang dan Bre sudah rungsing nggak bisa mikir kalau lapar. Kepengen mampir ke Bakso Damas tapi Bre harus standby meeting jadi pilihannya kita nyari kafe yang juga nyediain main course.
Kiri: Fish n Chips, Kanan: Creamy Chicken |
Menu nya standar ala kafe, tapi sayang nggak punya es teh. Fish n Chips nya enak, ikan dori nya jumbo bikin kenyang. Untuk Creamy Chicken nya meh. Kata Ayy yang enak itu menu Spicy Chicken nya, dia baru infoin saya setelah piringnya ludes. Untuk beverages, kami memesan Ice Chocolate dan Ice Latte. Untuk dua minuman itu rasanya B aja. Mungkin lain kali bisa dicoba Hot Cappuccino nya. Agak sedih sih, nggak nemu Mochaccino di dua kafe ini.
TV jadul, Kamera Jadul dan Dingdong |
Sekumpulan Vinyl jaman dahulu kala |
Area outdoor di belakang. Hujan tetep asik. |
Secara keseluruhan kafe ini cocok untuk kumpul sama temen dan buat yang gampang laperan karena mereka nyediain menu makan besar. Suasana nya juga asik karena alunan musik jazz yang diputar. Sayangnya kalau untuk kerja rasanya kurang karena jaringan wifi nya agak-agak gimana gitu. Kalau di Nara tethering pakai hape (Indosat, Telkomsel dan LiveOn XL) nya ngadat, kami pakai wifi kafe. Di Ten Thirty justru sebaliknya, kami pakai tether saja.
Untuk protokol kesehatan nya menurut saya cukup. Barista dan waiter pakai masker. Namun tidak ada aturan posisi kursi untuk menjaga jarak. Menuju sore pun mulai agak ramai, sepertinya entah para owner atau bukan, berkumpul di area barista berhaha-hihi, yang menurut saya mereka lebih berisik dari pengunjung nya. Oleh karena itu kami memutuskan untuk langsung pulang. Mungkin kalau kita datang lebih pagi kondisinya lebih aman karena masih sepi.
Museum Kopi
—
Museum Kopi ini kafe pertama yang kami kunjungi tapi tidak direncanakan. Seminggu yang lalu, saya mengurus motor punya adek yang sudah ditinggal lama gara-gara pandemi selama 7 bulan di kos. Tepat di samping servis resmi Honda di jalan Sigura-gura, ada kafe mungil yang baru buka. Saya bergegas masuk setelah menitipkan motor untuk diservis.
Macam-macam kopinya. Brewing espresso nya manual. |
Karena suhu Kota Malang yang rata-rata berada di antara 17 - 23 derajat celcius (cukup dingin menurutku), kebanyakan pengunjung lebih suka nongkrong di area terbuka. Maka tidak banyak kafe yang menyediakan ruang non-smoking. Di Museum Kopi juga sama, padahal kafe ini di ruko loh (di sebelahnya service Honda) tapi mereka ngga pasang AC, hanya mengandalkan kipas angin besar yang dipasang di dinding atas kafe.
Pertama kali ngopi di Malang kami kaget, karena harga kopi di Museum Kopi dibanderol 15 ribu rupiah saja. Harga perkopian di Malang segelas nya memang rata-rata antara 10-25 ribu rupiah. Kata Ayy, di Malang minuman kalau harganya diatas 25 ribu nggak laku. Asik ya, di Jakarta lebih mahal karena selain mahasiswa yang ngopi kebanyakan para budak korporat, sedangkan Malang ini kota pendidikan jadi yang nongkrong kebanyakan mahasiswa dan dedek-dedek gemes buat ngeksis di dunia maya.
Anyway, ngopi di Malang ternyata bikin nagih. Jujur tiap mudik (sebelum pandemi) kami mana sempat nongkrong di kafe. Mudik nggak pernah lebih dari 2 minggu, tiap hari udah sibuk ke rumah saudara wara-wiri dan ikut acara keluarga. Itu pun disempatkan jalan-jalan cuma 1-2 kali. Nggak ada waktu lenggang sama sekali. Nah, pandemi ini ternyata memberikan hikmah saya dan Bre bisa tinggal lama di kota kelahirannya. Kami bisa lebih santai dan ngopi pun bisa kapan saja (asal nggak weekend). Selamat menikmati kopi (murah) ditemani hawa dingin kota Malang, jangan lupa ikuti protokol dan jaga kesehatan!
Tulisannya sangat menarik, hihihihi
ReplyDeleteterima kasih sudah mampir kak :)
Delete