Semenjak sering pulang kampung ke rumah mertua, mampir ke Bromo sudah menjadi ritual saya dan Bre tiap kali ke Malang. Jarak tempuh yang tidak sampai dua jam dan kondisi jalan yang cukup baik membuat kami tidak pernah bosan mengunjungi tempat ini. Tahun ini kami mengunjungi Bromo tiga kali! Pertama di bulan Januari kami menginap semalam di Dusun Cemoro Lawang. Lalu di awal bulan Juli kami berdua melakukan perjalanan singkat ke Cemoro Lawang untuk pertama kalinya bersama Pikachu. Dan yang ketiga bersama dengan keluarga Bre kami jalan-jalan ke view point di pintu masuk Bromo jalur Tumpang.
Kali ini saya ingin bercerita tentang dua perjalanan kami ke Bromo di bulan Juli lalu. Sejujurnya kami sama sekali tidak melihat Gunung Bromo, karena saat itu sedang PPKM darurat jadi semua tempat wisata ditutup. Kami hanya melakukan perjalanan singkat, melihat pemandangan dari kaca jendela mobil, menggelar tikar di samping mobil dan makan bekal yang dimasak oleh ibu mertua sambil menikmati angin sejuk pegunungan di TNBTS —Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.
18 Juli 2021
Saya dan Bre berangkat berdua saja pagi itu. Kami hanya berbekal beberapa bungkus roti dan air minum. Kami tidak berekspektasi banyak karena hari itu adalah hari pertama pemberlakuan PPKM darurat. Kalau memang disuruh putar balik di jalan oleh petugas yasudah tak mengapa. Kami berencana ke Cemoro Lawang melalui jalur Probolinggo. Perjalanan melewati perbatasan kota ternyata lancar mungkin karena masih sangat pagi. Rute lengkap ke Bromo bisa dicek di sini.
Sesaat sebelum masuk ke Dusun Cemoro Lawang kami sempat beberapa kali berhenti. Menikmati pemandangan pegunungan yang memanjakan mata. Tak salah memang, jalur Probolinggo pada saat pagi atau siang hari menurut saya adalah jalur terbaik ke Bromo. Tapi jika ingin melihat Bromo secara langsung dari jalan ya paling asik lewat jalur Pasuruan.
Sampai di Balai Desa Ngadisari, atau sekitar 3 km sebelum pintu masuk Bromo kami diberhentikan oleh seorang petugas. Kami disuruh putar balik karena kawasan wisata Bromo sedang ditutup. Kami sudah menduga sih, jadi kami nggak terlalu kecewa. Hanya sedikit sedih saja, saya pikir yang tutup pintu utama Bromo yang berada di dekat Lava View Hotel, jadi kami masih bisa melihat Bromo dari beberapa restoran atau lahan parkir hotel.
Kami langsung putar arah dan mencari restoran yang buka di sekitar situ. Sambil Pikachu melaju pelan, saya melihat kanan dan kiri jalan. Jalur turun kami berbeda saat naik, namun masih tetap berada di Jalan Raya Bromo. Mata saya langsung tertuju pada plang bertuliskan Java Banana Cafe di sebelah kanan jalan. Kami langsung belok lalu namun sempat ragu karena sangat sepi, takut kafe atau restorannya tutup. Lalu ada seseorang yang mendatangi kami dan menjawab pertanyaan saya. Restorannya buka bu, silakan masuk. Wuah senang sekali perutku saat itu. Setelah keluar mobil dan melihat sekeliling ternyata restoran ini masih satu kawasan dengan Jiwa Jawa, resort yang cukup kece berdasarkan info yang pernah saya dapat dari Mira. "Mau sekalian nginep di sini ga?" Canda saya ke Bre. Ia langsung mengiyakan. Eh bercanda doang kok. Pan kapan aja lah ya, nunggu promo.
Di dalam kafe yang sepi sekali. |
Beranda Java Banana Cafe |
Masih pukul 10 pagi, di kafe ini hanya ada saya dan Bre, si mas yang bikinin kopi dan chef yang ada di dapur. Serasa menyewa satu restoran dong ini. Saya yang sudah merasa lapar langsung memesan nasi goreng jawa dan susu segar panas. Bre cuma pesan cappucino. Kami sengaja duduk di beranda menghadap ke perbukitan untuk menikmati udara sejuk Bromo. Kopi yang baru diletakkan lima menit di meja pun langsung jadi dingin.
Harganya lebih murah dari kafe-kafe yang ada di Kemang |
Sepanjang waktu kami hanya ngobrol. Hidup berdua itu pada akhirnya ya mau ngapain kalau bukan ngobrol. Segala topik dari yang sangat tidak penting hingga soal prinsip jadi bahan cerita.
Melipir makan pop mi |
Setelah sholat zuhur kami langsung pulang. Kami melipir sebentar di salah satu spot kita berhenti saat berangkat tadi. Menyeduh pop mi dengan air panas yang kami bawa pakai termos.
25 Juli 2021
Ini adalah minggu terakhir saya dan Bre tinggal di Malang. Awalnya setelah dari Malang kami berencana WFH ke Bali tapi kondisi yang tidak memungkinan memaksa kami kembali ke Jakarta. Sepatu gunung dan perlengkapan snorkeling yang kami bawa dari Jakarta pun tidak ada yang terpakai. Rencana mau trekking lagi ke Tumpak Sewu pun gagal sudah karena semua tempat wisata tutup.
Untuk menghibur Niken yang selama di Malang nggak bisa kemana-mana, tante dan ibu mertua mengajakku jalan-jalan. "Mbak Niken belum pernah ke Coban Pelangi kan? Yuk kesana, kita piknik aja di parkirannya. " Semenjak subuh ibu sudah mulai sibuk di dapur mempersiapkan bekal yang akan dibawa untuk 10 orang.
Kirain di mana gitu ya Coban Pelangi, setelah saya cek ternyata lokasinya berada di sebelum pintu masuk kawasan TNBTS. Hahaha ke Bromo lagi. Yaudahlah cus aja daripada di rumah stres denger berita covid di tv. Sejujurnya saya memang agak tertekan karena banyak mendengar berita orang-orang di sekitar saya yang berpulang. Di pertengahan bulan Juli ada kolega saya yang meninggal juga karena covid. Salah satu alasan saya memutuskan untuk tidak jadi WFH ke Bali.
Kami berangkat dari rumah sekitar pukul 9 pagi. Lokasinya hanya berjarak 37 km dari rumah dan ditempuh kurang lebih satu jam. Pemandangan sampai Coban Pelangi menurut saya biasa saja sih, sampai di area parkiran pun hanya ada pohon-pohon pinus saja. Adik sepupu bertanya pada saya apakah lokasi Bromo masih jauh. Saya bilang sudah dekat, cuma setahu saya ada gerbang pintu masuknya di Coban Trisula, khawatir ditutup. Dia nekat mengajak kami kesana, kalau memang tutup yasudah balik lagi. Padahal mobilnya sudah mulai kehabisan bensin. Tancap gas sampai atas!
Puncak Gunung Semeru yang terlihat di balik perbukitan. |
Perjalanan dari Coban Pelangi ke Bromo ternyata cukup memanjakan mata. Jalannya juga sangat mulus meskipun meliuk-liuk naik turun. Saya ingat dulu saat melakukan pendakian ke Semeru tahun 2014 bersama Bre, saya melewati jalan ini. Namun yang ada dalam ingatan saya adalah jalannya yang jelek dan kami kesulitan naik motor sambil membawa dua carrier besar. Berharap ada tukang ojek yang lewat mau mengantar kami. Bulan Januari lalu saya juga baru melewati jalan ini, saat perjalanan pulang dari Bromo. Tapi karena kondisi hujan deras dan naik motor, saya tidak sempat memperhatikan sekeliling.
Jajan bakso yang pemandangannya seharga Wagyu A5 |
Jalan masuk ke Savana Bromo |
Tiba saat kami mau melewati gerbang pintu masuk TNBTS di Coban Trisula, ada beberapa polisi penjaga. Kami melaju pelan-pelan dan ternyata kami tidak diberhentikan dan juga tidak dimintai tiket masuk. Kami melajukan mobil hingga sampai di parkiran mobil yang ada di dekat pos pertigaan antara jalan masuk ke savana Bromo dan ke gunung Semeru. Saya baru ingat, ternyata jalan jelek yang dulu saya ingat itu setelah pertigaan ini. Saat turun dari Semeru saya sampai menumpang truk dan Bre turun sendirian pakai motor. Sudahilah flashback suramnya, setelah sampai di sini saya ternganga. Ternyata pemandangannya sebagus ini. Ini kali ke empat saya lewat sini tapi baru kali ini cuaca cerah langit biru. Bisa melihat punggung-punggung bukit dan savana Bromo.
Langsung deh foto-foto meskipun matahari udah hampir di atas kepala |
Semenjak pandemi, JJS yang biasanya tiap satu atau dua minggu sekali sudah tidak sesering dulu. Jadi sekarang sepertinya cuma liat-liat pemandangan dari kaca jendela mobil aja udah buat kita bahagia. |
No comments
Post a Comment