New Year, Better Me! Sebuah tag dari kalender gratisan yang saya dapat dari toko belanja bahan makanan favorit ibu-ibu. Warnanya cerah ya, semoga tahun depan bisa secerah sinar mentari. |
Saya berterima kasih sekali kepada teknologi fotografi, karena tanpanya, beberapa memori dan cerita bisa luput dari ingatan saya. And thanks to aplikasi Photos, saya tinggal scroll-scroll ke atas untuk melihat cerita-cerita apa saja yang terjadi di tahun ini.
Januari — Menginap di Cemoro Lawang
Tahun 2016 waktu itu, saat melihat matahari terbit di Bromo dari Bukit Kingkong view point, saya langsung jatuh cinta dengan Cemoro Lawang dan bertekad mau nginep di sana jika lain waktu diberi kesempatan ke Bromo lagi. Rencana menginap di Cemoro Lawang baru terlaksana di tahun ini, touring naik motor selama 2,5 jam dari rumah mertua. Nggak berasa soalnya pakai Honda PCX 150cc, Bre yang di depan pun katanya sampai ngantuk saking mulusnya kondisi jalan di jalur Probolinggo. Esok dini hari kami melihat matahari terbit lagi dari Seruni view point.
Siang kami habiskan dengan motoran santai di jalur savana Bromo. Saya iseng belajar naik kuda dan diajak mutar-mutar di area bukit Teletubbies. Lalu kami makan bakso di bawah pohon, menghadap padang savana yang luas. Pulangnya memakan waktu 3 jam karena hujan deras sepanjang jalan. Sedih, di umur segini kami masih motoran sambil keujanan berjam-jam. Dalam hati berdoa, Ya Allah pengen punya mobil.
Februari — Bulan ulang tahun saya yang.. gitu-gitu saja lah
Tapi lumayan seru juga sih, soalnya ini kali pertama kami bikin barbecue di rumah. Modal beli kompor portable dan grill pan, jadi deh Kintan buffet ala-ala. Esok harinya saya diajak jalan-jalan naik motor sama Bre buat nyari pot tanah liat besar untuk membuat kolam ikan kecil. Belinya di Ragunan, dapat harga yang lumayan zonk. Mahal banget gila, sampai tiga kali lipat dari harga normal. Tapi tetap kami beli, soalnya yang murah belinya jauh banget. Saya nggak sanggup kalau musti motoran sambil bawa gentong segede gaban.
Maret — Bre bisa nyetir
Impian bisa road trip di luar negri semakin dekat. Alhamdulillah akhirnya Bre bisa nyetir. Saya sebenarnya juga bisa, udah punya SIM A malah tapi karena udah bertahun-tahun nggak nyetir jadi kagok lagi. Berarti waktu itu bisa nyetirnya bukan jago, hanya sekadar bisa. Tahun depan bisa nyetir mobil lagi jadi resolusi saya. Semoga bisa!
April — Setelah setahun lebih, akhirnya main ke mall
Sesungguhnya ini tidak penting. Tapi memang foto yang muncul di bulan April isinya hanya main ke kafe satu kali, ke mall pertama kali, barbecue-an sama keluarga, jajan pot tanah liat, dan tentu saja foto-foto tanaman. Membosankan yah. Mau gimana lagi, kemana-mana sangsi. Sehabis nongki di Kroma, kami belanja sebentar ke MGH, lalu Hana, Saya dan Bre cus ke Kemang Village. Belok ke Uniqlo, nemu blocktech promo banget hampir 50%, beliin Bre deh biar kalau pas trekking hujan ga perlu pakai rain coat. Baru pertama kali ini berswafoto di depan cermin besar di toko baju.
Mei — Lebaran di Jakarta
Biasanya momen lebaran pertama kami rayakan di rumah orang tua saya di Jakarta. Lalu hari lebaran kedua kami terbang ke Malang. Namun sudah dua kali lebaran ini kami tidak mudik. Ya kami tetap pulang kampung sih tapi bukan pas momen lebaran. Mama juga biasanya mudik ke Semarang, tapi kali ini beliau dimudikin sama anak-anaknya.
Juni — Pengalaman road trip pertama Jakarta - Malang
Kali ini tanpa foto karena ngga ada foto, dan gak perlu juga karena menurutku ini pengalaman yang tak akan terlupakan. Rencana yang tersusun dengan apik. Perjalanan 1000 kilometer Jakarta - Malang dengan singgah di Dieng pada malam pertama, lalu lanjut singgah ke Jogja pada malam kedua. Hari pertama kami berangkat satu jam lebih lambat dari jadwal karena mutar-mutar dulu di Cilandak buat isi etoll, bensin sekalian sarapan. Sampai hotel di Dieng kemalaman.
Berhubung esoknya di Dieng nggak bisa lihat apa-apa, kami memutuskan nggak jadi mampir Jogja dan bablas langsung ke Malang karena lihat berita kondisi pandemi makin parah. Kami mampir makan mi ongklok di kota Wonosobo sekalian sholat zuhur. Perjalanan masih aman, pemandangan Gunung Sindhoro di kiri jalan dan Gunung Sumbing di kanan jalan sungguh memanjakan mata. Hingga sore hari sampai di Temanggung, Pikachu mulai ngambek. Untung kami berhenti pas di pom bensin, menunggu waktu hingga akhirnya dia mau nyala dan langsung kami bawa ke bengkel terdekat yang ratingnya paling tinggi di kota kecil ini. Setelah dicek ternyata alternator dinamo nya bermasalah, musti dibenerin atau paling parah ya diganti baru. Tapi karena Temanggung ini kota kecil, jadi jam 4 bengkel sudah tutup, yang berarti setengah jam lagi. Saya dan Bre pun terpaksa menginap di hotel (diantar oleh salah satu pemilik bengkel). Sedih sih, tapi ya mau gimana lagi. Malamnya kami bungkus ayam penyet disebrang hotel, lalu makan di kamar sambil nonton Netflix.
Esok pagi sarapan di hotel, lalu lanjut rebahan aja di kasur. Bingung juga mau ngapain. Jalan-jalan juga udah males. Sehabis makan siang kami checkout dan nunggu di lobby hotel sembari nunggu kabar dari bengkel. Setengah jam bolak-balik telpon-telponan, katanya si bapak pemilik bengkel sampai ke kota Magelang buat nyari alternator dinamo karena di Temanggung nggak ada. Di Magelang pun ternyata juga nggak ada dan musti beli di Jakarta. Si bapak udah nawarin, kalau mau beli harganya 4,6jt, tapi sampainya besok. Itu artinya kita harus nginep lagi. Saya langsung buka situs bus antar provinsi di Temanggung, untung terminalnya dekat jadi saya bisa balik ke Malang sendiri, dan Bre saja yang tinggal semalam lagi di Temanggung.
Di tengah keputus-asa-an, kami berdua langsung ke bengkel (sambil bawa semua koper) tanpa memutuskan apa-apa. Ngobrol sebentar dengan pemilik bengkel. "Sebentar ya bu, dicoba lagi dulu." Si bapak sebenarnya juga nggak mau ngasih harapan palsu makanya dia nawarin untuk beli alternator di Jakarta. Selang setengah jam, Pikachu menyala! Beberapa kali dicoba lagi sambil test drive untuk memastikan aman untuk dibawa ke Malang. Alhamdulillah biaya repair hanya seperlimanya saja dari beli baru. Kami babals ke Malang dengan ditemani hujan deras.
Juli — Kami berdua yang tidak berjodoh dengan Dieng dan Prau
Cerita bagian sini mungkin agak panjang, karena belum pernah saya share di blog ini. Masih teringat jelas, Januari 2017, saya dan Bre naik Gunung Prau, yang berada tidak jauh dari kota Wonosobo. Perjalanan 17 jam dari Jakarta dengan berbagai drama. Saat mulai pendakian, hujan deras menerpa Dan tentu saja tidak mau berhenti sepanjang pendakian 3-4 jam menuju tempat kemah dan puncak Prau. Tidak ada pemandangan indah seperti di foto yang dibagikan oleh teman-teman pendaki lain. Malamnya hujan mulai reda, hanya kami nikmati sembari makan indomie tanpa ada bintang-bintang di langit.
Sepanjang malam kami kentut-kentut, mungkin karena efek kehujanan dan masuk angin. Esoknya harapan melihat matahari terbit pun sirna karena kabut tebal. Sama seperti hari sebelumnya, tidak ada pemandangan yang mengobati lelah pendakian. Mungkin karena masih musim hujan, Januari bukanlah waktu yang pas mengunjungi tempat ini. Dalam perjalanan turun, kami melalui jalur Dieng. Cukup lumayan memanjakan mata pemandangannya. Saya pernah mengeksplor Dieng tahun 2011 silam, karenanya saya berjanji pada Bre, lain kali saya akan mengajaknya ke Dieng, negeri di atas awan.
Kemudia Juli tahun ini dalam perjalanan road trip dari Jakarta ke Malang, saya mengajak Bre untuk singgah ke Dieng. Kami melewati Kajen, salah satu jalur ke Dieng yang ekstrim tapi pemandangannya bagus (kata teman saya yang seorang guide). Sayangnya sampai Kajen sudah sore, kami terjebak kabut tebal dan mobil melaju kurang dari 10km/jam karena jarak pandang mata yang sangat pendek. Sampai hotel sudah gelap. Hanya dingin yang menusuk tulang menemani kami malam itu.
Esoknya kami bangun lewat subut. Melalui jendela kamar, terlihat semburat merah muda dari kejauhan. Ayok Bre kita ke puncak Sikunir, tempat melihat matahari terbit paling indah di Dieng. Sayangnya sampai di lokasi parkir kabut turun terus-menerus dan gerimis. Wisatawan lain sudah pada turun dan sepertinya hanya kami berdua yang naik karena kesiangan. Sampai di pos yang ada mushollanya, kami berhenti, karena memang tidak terlihat apa-apa. Cuma kabut, kabut dan kabut. Yaudahlah kita turun aja, hujannya makin deras. Sampai di parkiran, kabut juga masih tebal. Danau Cebong yang biasanya terlihat pun tidak nampak tertutup kabut. "Nanti kita ke Dieng lagi ya, gue penasaran." Kata Bre. Saya geleng-geleng kepala saja. Kalau nggak jodoh, kenapa harus dipaksakan.
Juli — Panik keringat dingin tas ketinggalan di masjid
Bre nggak pernah nolak diajak jalan-jalan, meskipun sambil bawa laptop karena harus standby kerjaan. Tapi kali ini saya cukup sebal dan kesal. Tas yang berisi laptop punya kantor, tertinggal di masjid besar Tumpang saat kami sholat dzuhur di sana. Kami mampir masjid setelah piknik sekeluarga ke view Bromo di pertigaan jalur Bromo - Semeru. Kami baru sadar setelah sampai di rumah sekitar pukul setengah empat sore (kami mampir jajan bakso makanya lama). Saya yakin sekali tas itu tertinggal di masjid, karena saat memakai sepatu di teras masjid saya melihatnya bersender di tiang masjid.
Dengan wajah panik dan gelisah, kami berdua langsung kembali ke masjid yang lokasinya 22km dari rumah. Masjid besar ini letaknya di sebelah pasar Tumpang yang merupakan daerah ramai. Untungnya ada teman tante saya yang tinggal dekat situ, jadi kami minta tolong untuk diambilkan. Saya mencoba bersikap tenang, sambil berpikir positif. "Di sana ada rak kaca isinya banyak jam tangan pengunjung yang ketinggalan. Insha Allah laptopnya diamanin sama marbot."
Sampai di rumah temannya tante, kami disambut hangat. "Tasnya masih nyender di tiang tadi. Coba dicek isinya aman ga?" Alhamdulillah ya Allah, masih rejeki. Itu laptop kalau dijual bisa dapet Honda Beat 2 biji. Lain kali nggak usah deh bawa-bawa laptop kalau pelesir, kalau terpaksa ya gendong aja terus.
Agustus — Beralih ke mens cup
Memulai gaya hidup ramah ligkungan membutuhkan tekad yang cukup kuat. Dari hal yang kecil dulu, lalu belajar untuk istiqomah. Memilah sampah dan membeli kebutuhan rumah tangga dengan sistem bulk sudah saya mulai sejak tahun kemarin. Nah tahun 2021 ini ada perubahan yang cukup signifikan dan membutuhkan kesiapan mental.
"The best decision in my life." Kata Mira.
"Setiap bulan aku merasa jadi pahlawan." Kata Diny.
Dua kalimat itu yang membuat saya jadi yakin untuk tidak pakai pembalut sekali pakai lagi. Awalnya saya berniat untuk pakai mens pad, yang bisa cuci-pakai. Namun setelah berdiskusi dengan dua sohib go green ku Diny dan Mira, akhirnya saya putuskan untuk menggunakan mens cup. 2 bulan pertama masih kagok dan butuh waktu lama untuk pasangnya, tapi sekarang sudah terbiasa. Sekarang saya bisa pakai sambil berdiri! Meskipun kadang-kadang masih pakai panty liners (karena masih suka bocor pas hari-hari pertama), saya senang sekali bisa bebas tanpa pembalut. Sekarang pun jadi mikir, kenapa nggak dari dulu?
Oktober — No more jajan kopi tuku, bisa ngopi ala kafe di rumah
Sudah hampir 3 bulan mesin espresso ini dipakai setiap hari, tapi kami masih gagal juga bikin latte art. Semenjak ada Codebrewer (nama mesin kopi rumahan kami), Bre jadi rajin ngopi. Sehari kadang sampai dua kali. Buatnya ekspres, rasa kopinya kuat. Espresso bisa jadi macam-macam, jadi long black, cappucinno, cafe latte, es kopi susu gula aren, kadang saya campur bubuk coklat dan susu jadi mochacinno.
Kenapa sih kalau kerja musti sambil ngopi? Apakah kerjaannya jadi lebih cepat selesai? Atau biar lebih fokus aja karena konon katanya kafein yang terkandung dalam kopi membuat kita lebih terjaga. Tanya saya ke Bre. "Saya sudah kecanduan kopi." Jawabnya. Selama 3 bulan ini, Bre satu kali jajan kopi kenangan, itupun karena lagi kerja di kantor. Oke, mesin espresso sukses mengurangi kita jajan kopi kekinian.
Oktober — Kemping ceria sambil barbecue-an
Sudah lama nih nggak ke Bandung, kemah ke Ranca Upas yuk. Sebelum berangkat, saya beli kompor lipat dan peralatan masak baru lantaran yang lama sudah rusak karena umur. Berhubung sekarang sudah ada Pikachu, jadi saya berinisiatif untuk bawa coolbox yang isinya ada daging slice fresh dan sayuran untuk barbecue dan bahan untuk okomomiyaki. Biasanya kalau kemah paling banter kami masak mi instan, kali ini kami kemah dengan lebih serius.
Nggak bosan memang ke Ranca Upas, ini kali ketiga saya berkemah di sini. Mana hari Minggu pula, orang-orang sudah pulang jadi yang berkemah di area savana hanya kami berdua. Spooky sih tapi jadi lebih hening. Paginya kami mengejar matahari terbit di antara rumput-rumput tinggi yang basah.
Oktober — Si bayi boba
Dua tahun berlalu begitu saja. Dan menurut saya tahun ini menjadi tahun terberat bagi yang kehilangan. Namun ternyata harapan itu masih ada, seorang anak manusia lahir ke dunia. Menjadi kabar gembira bagi keluarga kami. Mamaku termasuk yang paling telat jadi nenek di antara kakak dan adiknya. Makanya beliau bahagia sekali ada anggota keluarga baru di rumah. Kami sekeluarga pun menyambut penuh suka cita.
Saya nangis penuh haru bahagia, saat adik ipar mengabari proses lahiran adik saya yang berlangsung lancar. Proses yang cepat dan normal. Adik yang selama ini sering saya sangsikan karena paling gampang sakit dan lemah. She give birth to a wonderful and handsome son. She's a superwoman. Kamu hebat banget, Han! You're amazing. Saya betulan memuji dia, karena kadang masih nggak percaya.
Selama di Taman Langit berkabut jadi foto diatas saya ambil di instagram. Kiri @ahmadsopung dan kanan @hagaprio
November — Trip zonk ke Taman Langit, Pangalengan
Seperti biasa setiap tahun sekali kami merencanakan short trip untuk anniversary. Kali ini kami ke Bandung lagi, tapi nggak pake acara kemah. Mau selow saja tidur di hotel, jajan-jajan, nongkrong di kafe. Tapi entah kenapa kami tiba-tiba kepikiran mau mampir ke Taman Langit di Pangalengan, Kabupaten Bandung. Kami berangkat lebih pagi pukul setengah 6 pagi karena jaraknya yang lebih jauh daripada ke Ranca Upas.
Sampai di parkiran Taman Langit sekitar pukul setengah 10, ternyata hujan cukup deras. Sambil menunggu hujan reda kami nyeduh mi cup sedaap rasa kari ayam favorit kami. Hampir satu jam kami menunggu akhirnya reda, hanya gerimis. Karena sudah kebelit pipis semenjak sampai parkiran, kami langsung masuk ke Taman Langit melalu booth tiket. Kamar mandi ternyata hanya ada di atas, melewati jembatan yang cukup panjang melewati perkebunan teh. Sampai di atas saya melepas hajat, baru ngeh ternyata kami nggak bawa kamera. Kami turun ke parkiran lalu balik lagi ke atas. Sayangnya kabut makin tebal, beneran nggak kelihatan apa-apa. Pukul 12 siang kami putuskan untuk kembali ke kota Bandung.
Desember — Liburan di Bandung berlanjut staycation di bangsal rumah sakit
Esoknya saya bangun lebih segar, ready to hit the road again! Kami nongki di kafe, makan mi kocok di trotoar, lalu lanjut nongkrong di kafe daerah dago pakar. Lumayan lama sampai sore, dan badan saya baik-baik saja. Kuliner kami akhiri dengan makan seafood di HDL Cilaki. Dalam perjalanan ke Jakarta saya sengaja minum antimo biar bisa tidur, tapi nyatanya sepanjang jalan sampai rumah mata saya masih terjaga.
Baru deh besok nya, hari Minggu dan Senin yang rasanya mulai menyiksa. Saya sulit tidur karena perut perih, tiap berapa jam rasanya musti makan sesuatu biar ga mual. Esoknya saya putuskan untuk ke dokter umum di klinik, karena masih takut untuk ke rumah sakit. Saya disuruh tes lab, dan ternyata hasilnya trombosit saya menurun. Saya disuruh tes lab lagi dan ternyata makin menurun. "Kamu harus dirawat, karena sepertinya kamu kena DBD." Langsung deh Rabu malam itu saya ke IGD, tes ini-itu, rontgen, cek SSGOT SGPT karena ada dugaan kena lever.
Heu~ akhirnya liburan lagi deh. Mayan, dapat sarapan, makan siang, makan malam gratis.
Tidak ada komentar
Posting Komentar