Setelah melanglang selama 3 hari di Nusa Ceningan, kami melanjutkan perjalanan ke Nusa Penida, pulau yang letaknya tepat di sebelah tenggara Nusa Ceningan. Jadi dari Ceningan kita tinggal menyebrang menggunakan speed boat.
9 Juni 2022
Sebelum menyebrang, kami menghabiskan pagi di Sea Breeze sembari menunggu jam check out penginapan. Kemudian berpamitan dengan host kami, Mbak Ryan dan ibunya. Pukul 12 siang kami menuju Yellow Bridge di mana pelabuhan penyebrangan ke Penida berada. Sampai di sana kami langsung memesan tiket. Untuk harga tiketnya lumayan mengalami kenaikan. Setau saya harganya hanya 20 ribu rupiah, ternyata naik jadi 50 ribu rupiah untuk wisatawan, sedangkan harga 20 ribu rupiah sekarang hanya untuk warga lokal. Saya tadinya mau menyamar jadi warga lokal karena kata Bre logat saya sudah seperti orang Bali.
Setelah membeli tiket saya janjian dengan Pak Adi untuk mengembalikan motor di Yellow Bridge. Tidak lama kemudian kami dipanggil karena kapalnya akan berangkat. Saat itu saya mulai panik karena Pak Adi tidak juga kelihatan batang hidungnya. Tiba-tiba ada orang menghampiri saya dan bilang akan membawa motor yang saya sewa ini. "Motornya sewa di Lembongan kan? Itu kapalnya mau berangkat kak, ini motornya saya bawa saja sekalian saya balikin." Saya bingung dan tidak bisa memutuskan karena semua penumpang sudah naik ke kapal kecuali kami. Lalu dia ngomong lagi. "Saya difoto aja kak, terus kirim saja ke yang punya motor."
Foto kiri: Bapak-bapak yang tiba-tiba meminta kunci motor lalu pose minta foto Foto kanan: Ada penumpang lain ikut nyebrang ke Penida |
Saya pun teringat cerita Pak Made kalau di dua pulau ini tidak ada maling. Meninggalkan motor beserta kuncinya yang masih terpasang di pinggir jalan tidak masalah. Sama seperti yang saya alami ketika tinggal 4 hari di Pulau Karimun Jawa, motor dibiarkan di pingir jalan beserta dengan kuncinya yang masih terpasang sudah biasa. Saya pun pasrah menyerahkan kunci motor ke bapak tadi lalu langsung berlari ke arah pelabuhan. Tadinya kami merasa tidak enak dengan penumpang lain karena ditunggu, namun masih ada satu penumpang lagi yang ternyata datang telat, yaitu motor! Menyebrang dengan speed boat dari Ceningan ke Penida hanya memakan waktu 10 menit, deket banget sampai tidak berasa.
Kira Cottage a.k.a. Kira Homestay
Selain AC, kettle dan jemuran baju ini benda wajib yang jadi poin plus untuk hostel |
Pantai Kelingking
Saya sudah menahan takut karena berdiri di gang sempit ini. Tapi semua hasil fotonya mengecewakan, wajah saya ngeblur karena enggak fokus. |
Saya tertegun melihat pemandangan bukit yang bentuknya mirip dengan dinosaurus ini. Selama ini hanya melihat di postingan Instagram teman-teman. Sesekali saya menengok ke bawah ke arah pantainya, dengkul rasanya mau lepas karena saya takut ketinggian.
Pantai Kelingking dengan warna pasir krem beradu kontras dengan putih buih ombak dan warna air laut biru toska. |
Kami memperhatikan dengan seksama, ternyata di bawah sana ada orang. Saya mulai khawatir kalau Bre tiba-tiba mengajak saya turun ke pantai itu. Enggak deh, baru 2 bulan kaki saya pasca operasi pasang pen. Kalau nanti patah lagi kan enggak lucu.
Foto kiri: Mengabadikan momen seumur hidup Foto kanan: Rata-rata tinggi anak tangga sekitar 45-50 cm |
Tapi saya juga penasaran, seperti apa treknya. Kami pun turun melewati tangga yang tinggi anak tangganya sangat tidak manusiawi. Saya ukur tinggi anak tangga ini lebih panjang dari jarak antar telapak kaki hingga dengkul saya. Kami pun berpapasan dengan pasangan yang sedang sesi foto prewedding. Niat banget mas dan mbak ini, bela-belain dari Vietnam foto di sini. Gue pasti tipes duluan sebelum acara resepsi kalau gini.
Dari situ kami hanya turun sekitar 20 anak tangga lalu kembali lagi ke atas. |
"It's not a good idea." Sebagian besar dari mereka bilang sebaiknya kami tidak usah turun. Setelah sepertiga anak tangga ini, nanti akan ada jalan berbatu yang tidak rata, lalu berlanjut dengan jalanan terjal yang sangat miring sehingga kita harus turun sambil merangkak. Kami sempat ngobrol dengan pasangan muda-mudi dari Bekasi yang sepertinya sedang honeymoon. Saya menawarkan diri untuk mengabadikan momen mereka berdua karena kasihan dari tadi mereka foto gantian terus seperti saya dan Bre. Lalu kami juga diminta untuk berpose, waduh saya ikhlas kok bukan karena pengen minta gantian foto. Hehe, tapi akhirnya kami mau juga. Setelah itu kami hanya duduk di tangga sambil menikmati semilir angin dan pemandangan yang tidak setiap hari bisa kami lihat dari balkon rumah.
Nggak tahu warung ini halal apa engga, kami baru ngeh setelah selesai makan karena di menu sate cuminya ada sosis. Tapi ayam geprek di sini enak banget! |
Hari pun mulai gelap dan sepi. Kami duduk di warung nongkrong sambil minum air kelapa muda, menunggu makanan kami dihidangkan dalam waktu yang cukup lama, hampir satu jam. Untung saja makanannya enak, ludes kurang dari 15 menit. Kami menuju parkiran dan di sana tinggal motor kami. Ternyata kami wisatawan terakhir. Perjalanan kembali ke penginapan sungguh sangat menyeramkan. Kami betul-betul hanya berdua, jalanan gelap gulita karena tidak ada lampu jalan. Tak henti-hentinya saya berdoa, semoga ada kendaraan yang papasan biar enggak sepi-sepi banget. Sesekali saya lega saat melewati rumah warga. Duh, enggak lagi deh lewat magrib masih nongki di pantai.
10 Juni 2022
Saya minta penjaga hostel untuk mengantar sarapan pukul 7 pagi agar sejam kemudian bisa langsung ciao untuk mengeksplor Penida bagian timur. Kami berangkat lebih pagi karena jarak menuju pantai-pantai di Nusa Penida itu jauh. Saya cek di map ada dua jalur dari kostan. Jalur pertama melewati jalan yang sama seperti ke Pantai Kelingking yaitu hutan dan alas, dan yang satunya lagi melewati pesisir pantai. Saya pun meminta saran penjaga hostel. Jalur pertama lebih dekat dan bisa melewati padang savana teletubies, sedangkan jalur kedua lebih jauh tapi lebih lebar lajurnya. Kami pun memilih alternatif kedua karena agak trauma setelah perjalanan tadi malam. Keputusan yang sangat bijak, karena sepanjang jalan kami jadi tidak bosan melihat laut di sepanjang 25 kilometer perjalanan. Kalau lewat hutan terus pasti jadinya ngantuk karena ngebosenin.
Pantai Diamond
Foto kiri atas: Jalan menuju Pantai Atuh yang akan bercabang juga ke Diamond. Foto kanan atas: Pantai Atuh dari atas. Foto bawah: Jalan menuju pantai Diamond |
Sebelum trekking, kami mengganti sandal jepit dengan sandal gunung. Yup, setelah menonton sekilas di YouTube, jalur ke Pantai Diamond masih manusiawi jadi kami putuskan untuk turun sampai bibir pantai. Saya membawa perbekalan secukupnya termasuk juga baju renang untuk Bre. Saya enggak ada niat renang karena di bawah tidak ada toilet apalagi kamar bilas. Pokoknya ribet kalau pakai jilbab, kalau pakai bikini sih enak ya. Emang nyebur yang paling enak di Bali hanya di Pantai Melasti.
Anak tangga yang dipahat dari dinding tebing. Tingginya cukup ergonomis sehingga tidak menyiksa dengkul. |
Bagian paling menegangkan saat turun. |
Bre dan geng F4 nya main ombak begitu riang |
Saya menggelar tikar dan membongkar snack yang kami bawa. Sayang sekali kami hanya bawa satu botol minum, yang satu lagi tertinggal di motor. Setelah nyemil Bre langsung lari ke pantai. Tadinya saya kasihan melihat dia sendirian, namun tak lama ada turis asing yang ikutan main. Seru sekali melihat mereka teriak-teriak saat ombak datang. Saya dan mas-mas bule di sebelah saya ikut tertawa melihat salah seorang dari mereka ada yang celananya melorot sampai kelihatan crack nya. Saya sudah mengingatkan Bre berkali-kali untuk mengikat kencang celananya. Mungkin karena sudah tidak tahan melihat godaaan debur ombak dan air laut yang begitu biru, dia jadi terburu-buru.
Pas naik nyoba nyempetin foto selfi pake pose love. |
Kami main di pantai ini cukup lama, sampai perut saya kelaparan baru kami beberes sambil menyiapkan tenaga untuk naik. Botol minum tadi sudah habis isinya. Saya hampir tergoda untuk membeli air mineral 600ml seharga 25 ribu rupiah yang ada di satu-satunya warung yang ada di sini. Tapi enggak deh, naiknya enggak separah tebing pantai Kelingking.
Raja Lima dan Rumah Pohon Molenteng
View point Raja Lima dari bawah. |
Sampai di parkiran Rumah Pohon Molenteng kami diberikan saran oleh bapak parkir. Kalau mau ke bawah nggak perlu ke Rumah Pohon, mahal kalau foto di sana. Nanti jalan terus saja sampai ada pura kecil, di situ pemandangannya lebih bagus. Kami pun mengikuti sarannya, dan memang betul tidak jauh dari rumah pohon ada lokasi view point yang lebih luas. Kalau mau foto di rumah pohon ada charge 75 ribu rupiah untuk 2 menit. Itupun harus mengantri. Berhubung saya bukan selebgram, jadi tidak perlu. Di beberapa titik jalur ada spot-spot yang gratis kok.
Pemandangan dari atas tanpa turun ke Rumah Pohon Molenteng |
Sebetulnya tanpa turun, dari atas pemandangan Raja Lima sudah bagus. Hanya saja saya penasaran apakah betul jumlah anak tangganya ada 180. Ternyata bli tadi tidak bohong, mungkin karena bosan mengantar tamu, dia sampai betulan menghitung jumlah anak tangganya. Harusnya tadi saya tanya juga berapa jumlah anak tangga di Pantai Diamond dan Pantai Kelingking.
Dari Raja Lima kami sudah tidak ada rencana kemana-mana lagi karena perjalanan kembali ke penginapan masih lumayan jauh. Di parkiran Pantai Diamond kami juga sempat ketemu lagi dengan pasangan dari Bekasi yang kemarin, namun mereka tidak turun ke pantainya karena masih mau lanjut ke Pantai Tembeling. Saya iseng cek di Google, treknya tidak jauh beda dengan pantai-pantai lain di pulau ini. Enggak deh kalau naik turun tangga lagi, mending balik nyari jajanan di pasar terus leyeh-leyeh netflix-an di kasur.
11 Juni 2022
Rencana hari terakhir di Penida kami mau eksplor sebelah barat, yang letaknya lebih dekat dari penginapan. Semalam saya cari info tentang Angel's Billabong dan Broken Beach. Di sana bukan pantai untuk main air, hanya lanskap saja. Jadi perlengkapan renang saya letakkan di jok motor. Kami tetap bawa sih jika seandainya nanti jadi main ke Crystal Bay. Awalnya kami ingin langsung berangkat saja dan meninggalkan barang-barang di kamar, tapi saat sarapan saya kepikiran untuk langsung packing dan check out biar nanti tidak perlu buru-buru balik ke penginapan. Tas-tas besar kami titipkan ke penjaga hostel. Saya juga janjian dengan Mbak Sri, yang menyewakan motor ke kami. Apakah waktu mengembalikan motornya harus sama saat kami bawa (pukul 12:30), jika sampai sore apakah ada charge? Dia bilang tidak ada karena itu saya memesan tiket kapal ke Sanur pukul 16:30. Jadi kami pol-in saja lah sampai jam boarding kapal.
Broken Beach
Ini adalah kali kedua kami ke Broken Beach. Lho kok bisa? Jadi kami sebetulnya sudah ke sini saat snorkeling bersama manta ray. Lokasinya tepat di depan pintu goa (bolongan) yang ada di foto atas. Kali ini kami jalan-jalan santai saja memutari Broken Beach. Panas begitu terik membuat saya membuka si payung kuning.
Jalan menuju Broken Beach. Ada yang ngambek karena saya suruh balik ke parkiran untuk mengganti sandal jepit dengan sandal gunung. |
Broken beach memiliki bibir pantai di bawah, tapi sepertinya tidak ada akses menuju ke sana dari atas tebing. Di sepanjang jalan banyak warung berjejer, melihat banyak eskrim dijajakan kami jadi ngiler. Dari Broken beach kami ke Angel's Billabong. Dua tempat wisata ini masih dalam satu area jadi bisa ditempuh dengan berjalan kaki saja. Jangan pakai sandal jepit ya, karena batuan karst di sini lumayan tajam.
Kapal-kapal yang membawa wisatawan untuk snorkeling |
Angel's Billabong
Spot foto yang bikin mengantri. Saya dan Bre duduk santai di belakang mas-mas pakai celana merah |
Ekspektasi vs Realita |
"Fotoin yang bagus dong biar bisa upload Instagram." Kata mas-mas ini. Akhirnya diupload tapi yang ngelikes cuma 17. Wkwkwk. |
Crystal Bay
Masih pukul setengah satu siang, kayaknya kita masih bisa lanjut ke Crystal Bay. Jarak dari Crystal Bay ke penginapan hanya 4,5 kilometer, cuma 10 menit. Kami sebetulnya juga sudah ke sini karena Crystal Bay jadi salah satu spot snorkeling. Kami berenang juga cukup dekat dari bibir pantai. Bre sepertinya belum puas kalau hari itu dia tidak berenang. Masuk ke pantai ini tidak ada biayanya sama seperti di Broken Beach, hanya biaya parkir motor saja.
Banyak sekali pohon kelapa di Crystal Bay |
Di sini pantainya menurut saya biasa saja. Pasirnya tidak putih murni tapi bercampur dengan pasir hitam. Kata Bre, pas dia berenang ada ikan kecil-kecil. Sayangnya kami lupa membawa alat snorkeling, hanya membawa kaca mata renang saja jadi dia tidak berani berenang jauh-jauh.
Ritual orang meninggal adat Bali |
Saya enggak ikut berenang, tapi asik menulis di buku catatan perjalanan saya. Tak lama kemudian ada prosesi yang saya lihat seperti Ngaben, upacara kematian adat Bali tepat di depan pantai. Cukup ramai karena ada suara gaungan gong.
Enak nih ada dermaganya jadi naik kapalnya enggak perlu nyebur sedengkul. |
Pelabuhan Toya Pakeh
Ruang tunggu Maruti Express |
Ternyata dari tempat parkir motor ke dek kapal Maruti Express lumayan jauh. Sampai sana kami langsung memesan tiket dan dapat jadwal kapal pukul 4 sore. Bagus ini agen kapalnya, kita disediakan free refill air mineral, kopi dan teh. Ada toilet juga dan ruang tunggu yang cukup luas. Berhubung hari itu saya sedang tidak sholat, Bre sendirian mencari masjid terdekat. Tiba-tiba nama saya dan Bre dipanggil untuk masuk ke kapal. Petugas memang memanggil nama penumpang satu per satu. Lalu giliran nama saya dan Bre dipanggil, Bre tidak kunjung kembali. Saya bolak-balik menelepon namun tidak diangkat. Setelah hampir semua penumpang naik akhirnya dia muncul juga. Sudah mau pulang pakai drama lagi.
Seru sekali keliling Nusa Penida selama tiga hari ini, tapi kalau bisa putar waktu saya maunya naik mobil atau ganti naik Honda PCX saja yang sewanya 150 ribu per hari. Selain itu waktu tinggal di sini seharusnya lebih panjang, mungkin 5 hari sampai seminggu. Masih banyak spot-spot yang kami lewati karena dari satu spot ke spot lainnya cukup jauh. Mungkin kalau kaki saya tidak cidera, kita berdua bisa sampai ke bibir Pantai Kelingking. Buat Bre yang paling berkesan adalah saat berenang di Pantai Diamond, ombaknya besar sekali dan betul-betul membuatnya puas. Bagi saya yang paling berkesan tentu saja perjalanan malam setelah dari Pantai Kelingking. Rasanya saya mau tukar tempat saat naik motor, lebih baik saya saja yang nyetir. Perasaan takut tiba-tiba ada yang nemplok di belakang membuat saya merinding sepanjang jalan. Hehe enggak ding.
Bagi saya yang paling seru adalah saat perjalanan turun ke Pantai Diamond, tiap melangkahkan kaki menuruni anak tangga, detak jantung saya berdebar kencang. Ini kalau gempa gimana ya?
Tidak ada komentar
Posting Komentar